Kamis, 08 Agustus 2013

ARTI DAN FUNGSI PARAGRAF

1. Paragraf itu Apa?
Ketika membaca sebuah tulisan (artikel, makalah, atau buku), kita melihat kenyataan bahwa tulisan-tulisan itu terbagi dalam kelompok-kelompok kalimat. Tiap kelompok kalimat itu ditandai dengan baris baru yang ditulis agak menjorok ke dalam sekitar empat atau lima karakter. Bila kita amati lebih teliti, ternyata kalimat-kalimat yang tergabung dalam sebuah kelompok itu saling berhubungan dan bersama­-sama menjelaskan satu unit buah pikiran yang sejalan dengan buah pikiran seluruh tulisan. Kelompok kalimat seperti itu dinamakan paragraf. Agar lebih jelas, kita perhatikan contoh di bawah ini.
Sebelum mengenal kegiatan baca tulis, manusia sebenar­nya sudah berbahasa. Bahasanya tentu bahasa lisan, yaitu bahasa yang diucapkan dengan mulut. Segala peristiwa penting pada waktu itu hanya dicatat dalam ingatan. Orang tua biasanya menjadi arsip hidup, karena menjadi “pusat penyimpanan” peristiwa-peristiwa penting masa lalu. Kejadian-kejadian penting diteruskan orang tua kepada anak, dari anak kepada cucu, dan seterusnya. Tentu saja tidak semuanya dapat diteruskan karena kemampuan manusia untuk mengingat-ing angat terbatas. Menyadari keterbatasan itu, manusia berusaha mengabadikan peristiwa peristiwa penting itu dengan huruf-huruf dan tanda baca. Pemakaian huruf dan tanda baca itu dinamakan ejaan.
Ejaan adalah kaidah atau peraturan penulisan bahasa. Peraturan itu barns dipatuhi oleh pemakai bahasa agar kelancaran komunikasi tertulis tercapai. Sebaliknya, bila kaidah ejaan itu tidak dipatuhi, kelancaran komunikasi akan terganggu dan bahkan bisa macet. Hal ini dapat di­bandingkan dengan peraturan lalu lintas. Kelancaran lalu lintas dapat terwujud kalau pemakai jalan mematuhi rambu­rambu. Sebaliknya, lalu lintas menjadi kacau-balau dan bahkan bisa macet total kalau para sopir berlaku seenaknya dengan melanggar rambu-rambu lalu lintas.
Ketidakpatuhan terhadap ejaan merupakan pelanggaran. Pelanggaran berarti penyimpangan, dan setiap penyimpang­an berarti kesalahan. Selanjutnya, tulisan yang dihasilkan melalui pelanggaran kaidah ejaan, tentu saja termasuk tulisan yang salah. Agarpemakai bahasa dapat menghindar­kan diri dari kesalahan itu, ia harus mengetahui ejaan dan terampil menggunakannya.

Wacana di atas terdiri atas tiga paragraf. Tiap-tiap paragraf terdiri atas beberapa kalimat yang saling berhubungan dan saling mendukung unit buah pikiran. Paragraf pertama menjelaskan alasan mengapa orang perlu menciptakan ejaan. Paragraf kedua memberitahukan ejaan berupa seperangkat peraturan untuk menuliskan bahasa. Paragraf ketiga meng­anjurkan kepada pemakai bahasa untuk mengetahui dan mematuhi peraturan ejaan. Ketiga paragraf itu sama-sama mendukung buah pikiran yang lebih besar, yaitu tentang ejaan. Dari penjelasan dan contoh di atas dapat disimpulkan bahwa paragraf adalah sekelompok kalimat yang saling berhubungan dan bersama-sama menjelaskan satu unit buah pikiran untuk mendukung buah pikiran yang lebih besar, yaitu buah pikiran yang diungkapkan dalam seluruh tulisan.

2. Fungsi Paragraf
Keseluruhan tulisan (karangan) terdiri atas bagian-bagian dan tiap-tiap bagian itu terdiri dari bagian-bagian yang lebih kecil lagi. Hal ini dapat dibandingkan dengan sebuah pohon. Pohon mempunyai bagian yang lebih kecil, yaitu beberapa dahan. Tiap-tiap dahan mempunyai beberapa cabang. Selanjutnya, tiap-tiap cabang mempunyai beberapa ranting dan tiap-tiap ranting mempunyai sejumlah daun. Demikian pula tulisan yang berupa buku, misalnya terdiri dari beberapa bab, tiap­tiap bab terdiri dari beberapa anak bab. Selanjutnya, tiap­tiap anak bab terdiri atas paragraf-paragraf. Paragraf terdiri atas beberapa kalimat yang saling berhubungan. Bila diurut­kan dari unsur yang paling kecil, beberapa kalimat mem­bentuk paragraf, beberapa paragraf membentuk anak bab. Selanjutnya, beberapa anak bab membentuk bab dan akhir­nya beberapa bab membentuk sebuah tulisan yang utuh (buku).
Secara fisik, sebuah paragraf mudah dikenali, yaitu selalu dimulai dengan baris baru dan kalimat pertamanya ditulis agak menjorok ke dalam. Ini adalah penulisan paragraf yang lazim. Namun, kadang-kadang, selain awal kalimat baru ditulis agak menjorok ke dalam, antara paragraf satu dan paragraf lainnya spasinya ditambah setengah sehingga menjadi satu setengah spasi. Selain itu, ada cara lain lagi, yaitu awal kalimat pertama tidak ditulis menjorok ke dalam, tetapi dipisahkan dengan dua spasi dari paragraf sebelumnya.
Hal itu merupakan ciri fisik paragraf yang langsung dapat diketahui dengan cara hanya memandang sekilas. Namun bila diamati lebih saksama, akan tampak bahwa setiap paragraf  merupakan satu unit buah pikiran. Buah pikiran itu diungkap­kan dengan beberapa kalimat yang saling berhubungan dan bersama-sama mendukung sebuah unit pikiran.
Mengapa tulisan dibuat paragraf per paragraf? Dengan pertanyaan lain, apa fungsi paragraf? Penulisan paragraf mempunyai beberapa fungsi yang dapat dilihat dari sudut penulis dan pembaca.

Dari Sudut Penulis
1. Paragraf menjadi wadah untuk mengungkapkan unit buah pikiran penulis. Seperti menjahit baju, penjahit perlu menjahit bagian lengan dulu, kemudian bagian punggung, bagian depan, bagian leher, dan bagian saku. Keseluruhan yang dibuat itu untuk menghasilkan niat semula, yaitu selembar baju. Demikian pula seorang penulis. Untuk menyampaikan buah pikirannya, penulis perlu me­nyampaikannya bertahap, yaitu setiap unit buah pikiran ditulis dalam sebuah paragraf. Bila berpindah ke unit buah pikiran lain, penulis menyampaikannya melalui paragraf baru. Paragraf-paragraf yang berisi unit-unit buah pikiran itu secara bersama-sama mendukung keseluruhan buah pikiran yang akan disampaikan penulis. Bila tidak diatur paragraf per paragraf, berarti penulis harus me­nuangkan buah pikirannya sekaligus. Hal ini tentu membuat penulis mengalami banyak kesulitan. Sebalik­nya, dengan adanya wadah berupa paragraf itu penulis dengan mudah dapat menuangkan unit-unit buah pikir­annya.
2. Penulis dapat menyampaikan buah pikirannya secara teratur dan runtut. Dengan "wadah" berupa paragraf-paragraf itu, penulis dapat memisahkan tiap-tiap unit pikirannya dan tidak akan campur aduk dengan unit pikir­annya yang lain. Dengan demikian, alur jalan pikirannya akan semakin jelas.
3. Penulis tidak lekas lelah dalam upaya menyelesaikan tulisannya. Ibarat mendaki tangga, pendaki akan cepat mengalami kelelahan bila mendaki terus-menerus tanpa henti. Itulah sebabnya, anak tangga dari lantai satu ke lantai dua, misalnya, selalu ada bidang datar (biasanya di belokan) tempat pendaki beristirahat sejenak. Demikian pula penulis. Dengan adanya paragraf-paragraf itu, penulis dapat berhenti sejenak pada akhir paragraf, lalu melanjut­kan menulis unit pikiran berikutnya. Itulah sebabnya, penulis yang ingin beristirahat selalu mengakhiri tulisan­nya pada akhir paragraf. Bila hendak melanjutkan lagi, dia selalu memulai dengan paragraf baru.
4. Dalam keseluruhan tulisan/karangan, paragraf dapat dimanfaatkan sebagai pengantar, transisi, atau kesimpulan. Sebagai pengantar, paragraf itu memberi tahu dan meng­arahkan pikiran pembaca ke masalah yang akan dibahas. Sebagai transisi, paragraf berfungsi membelokkan pikiran pembaca dari satu masalah ke masalah lain. Selanjutnya, paragraf juga sering digunakan untuk menyimpulkan pokok-pokok pikiran yang telah diuraikan.

Dari Sudut Pembaca
1. Pembaca dapat menangkap buah pikiran penulis dengan mudah karena buah pikiran itu disampaikan unit per unit. Kemudahan itu sangat dirasakan kalau kalimat-kalimat dalam paragraf itu tidak terlalu banyak. Jika terlalu banyak, pembaca mengalami kesulitan menangkap inti unit buah pikiran pembaca. Sebaliknya, bila paragraf terdiri atas tiga, dua, atau mungkin satu kalimat, pikiran pembaca akan meloncat-loncat. Pembaca akan cepat bosan, bahkan mungkin menjadi jengkel.
2. Memudahkan pembaca "menikmati" tulisan. Ibarat makan nasi goreng satu piring, kita tidak menghabiskan sekaligus, tetapi sesendok demi sesendok. Setelah menelan satu sendok, kita mulai lagi mengunyah satu sendok berikut­nya. Dari menikmati sesendok demi sesendok itu lambat laun nasi goreng satu piring habis. Demikian pula pembaca. Setelah membaca satu paragraf, pembaca dapat me­mahami dan menikmati sebuah unit buah pikiran, lalu menikmati buah pikiran dalam paragraf berikutnya. Dengan menikmati paragraf demi paragraf itu, lambat laun pembaca dapat menghabiskan tulisan dalam satu buku.
3. Pembaca tidak lekas lelah. Seandainya tulisan tidak dibagi paragraf per paragraf, pembaca seolah-olah dipaksa mem­baca dari awal sampai akhir. Tentu saja pembaca akan terengah-engah dan muda lelah. Sebaliknya dengan ada­nya paragraf-paragraf itu, pembaca dapat berhenti beberapa saat pada akhir paragraf sambil memahami, menafsirkan, atau menyimpulkan isi paragraf. Selain ber­istirahat sejenak, pembaca dapat menyiapkan pikirannya untuk menerima unit buah pikiran baru yang tersaji dalam paragraf berikutnya. Dengan cara seperti itu pembaca dapat mengikuti alur buah pikiran penulis dengan cara yang mudah dan menyenangkan.

Keuntungan bagi penulis dan pembaca seperti diuraikan di atas akan tampak nyata sekali bila kita bandingkan dengan tulisan zaman dulu ketika bahasa Indonesia (waktu itu masih bernama bahasa Melayu) menggunakan ejaan Arab Melayu. Waktu itu, jangankan tulisan diatur paragraf demi paragraf, tanda baca titik saja tidak ada. Jadi dalam sebuah tulisan, yang tampak seolah-olah dari awal sampai akhir hanya satu paragraf, atau bahkan terlihat hanya satu kalimat. Sebab, tanda baca untuk mengakhiri kalimat tidak ada. Pembaca hanya menduga bahwa sebuah kalimat sudah berakhir kalau menjumpai ungkapan misalnya, bahwa sesungguhnya, sebagai tanda awal kalimat baru. Nah, dengan mengetahui awal kalimat baru itu pembaca lalu menyimpulkan bahwa kalimat sebelum­nya sudah berakhir atau titik. Sebaliknya, penggunaan huruf latin dan tanda-tanda baca yang lengkap (sesuai dengan EYD) dan pengaturan paragraf demi paragraf sangat membantu pembaca untuk memahami isi bacaan.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar