A. PENGANTAR
Esai sering dianggap sebagai tulisan yang berhubungan dengan karya sastra semata. Padahal esai tidak hanya dapat digunakan untuk membicarakan karya sastra. Akan tetapi, esai juga dapat digunakan untuk membicarakan pokok bahasan lainnya.
Esai ialah tulisan yang membicarakan pokok masalah tunggal yang biasanya berangkat dari pandangan pribadi penulisnya. Jika kita menulis esai, kita menyampaikan gagasan kita itu setelah kita informasikan. Akan tetapi melalui esai, pembaca juga kita buat mengerti dan mempercayai gagasan kita itu sepenuhnya, seperti halnya kita sebagai penulis memikirkan pokok masalahnya.
B. JENIS ESAI
Ada tiga jenis esai yang dapat kita kembangkan menjadi tulisan, yaitu esai reflektif, esai argumentatif, dan esai sastra.
1. Esai Reflektif
Esai reflektif adalah suatu kegiatan kontemplatif (perenungan) terhadap pokok persoalan yang ditentukan. Esai reflektif menguji keterampilan kita untuk berpikir dan mendeskripsikan, mengatur gagasan, menggunakan pengalaman, imajinasi, dan pengetahuan umum kita.
Ada dua kelompok besar esai reflektif, yaitu esai deskriptif-reflektif dan esai abstrak.
Esai deskriptif-reflektif merupakan esai reflektif yang memerlukan banyak deskripsi dan refleksi. Melalui esai jenis ini, kita harus mampu membuat kesimpulan dari apa yang kita deskripsikan. Selain itu, melalui esai ini pun kita tidak hanya diharapkan untuk mendekripsikan apa yang kita bicarakan, tetapi kita juga diharapkan untuk mendeskripsikan pandangan kita tentang apa yang kita bicarakan itu.
Esai abstrak merupakan esai reflektif yang lebih menekankan penalaran daripada deskripsi. Melalui esai jenis ini, kita lebih dituntut untuk terampil bernalar daripada mendeskripsikan apa yang kita bicarakan. Selain itu, melalui esai jenis ini kita harus mengutamakan perasaan dan pandangan kita terhadap pokok persoalan yang kita bicarakan.Berikut ini contoh wacana esai reflektif.
Tampomas II
Kami akan tetap mencarimu, anak yang kehilangan pelampung, begitulah radio itu bersuara. Serak, gemeretak, pecah-ppcah, storing. Laut tidak lagi tampak laut. Hanya gemerlap, sampai jauh, dan suara radio itu mendesak-desak ke sana.
Matahari membersihkan langit. Angin merapikan awan. Kami akan tetap mencarimu, anak yang kehilangan pelampung, begitulah radio itu berkata: Tapi siapakah engkau, radio yang tak jelas gelombongnya?
Kami adalah sebuah sumber. Kami yang akan tetap mencarimu, anak yang hilang dari kapal yang terbakar. Kami adalah semua pihak. Kami adalah sebuah regu SAR, yang tak beralamat, yang tak berpeta, tak berpasukan. Kami adalah sebuah pertanyaan yang penasaran, sebuah pencarian yang tak bisa terbatas. Katakan lagi, apa yang kau ingin cari.
Kami berbunyi seperti puting-puting, kami tak tampak seperti garis lintang, kami tertera poda astronomi, kami bagian dari alam dan manusia. Kami adalah yang mencarimu, akan menemukanmu, menghapus terik hari pada ubun-ubunmu, mengucurkan air es pada hausmu, menyisihkan asin dari tenggorokmu. Kami adalah rindang yang melindungimu, anak yang ditinggalkan pelampung. Soudara yang bicara pada radio tanpa sender, sebutkan apa maumu!
Kami akan tetap mencarimu. Kami meniti titik-titik dari Masalembo, menyeberang laut, ke pelbagai paragraf dokumen pelayaran. Kami ingin tahu, Remotion yang manakah untukmu, siapakah yang menjemputmu, dan adakah ia terbaring dengan mata merah dan memimpikan api. Kau tak akaa mendapatkan apa-apa, saudara yang bicara pada radio, kau tak akan mendapatkan apa-apa. Anak yang hanyut itu telah hanyut. Ikan-ikan telah memungutnya. Gonggang dan gelombanq telah menampung kesepiannya sampai ke dasar. Di sana gelap hanya sebentar, koa tahu, sebuah khayal bagi penyelam, sebuah ilusi pado snorkel, sebuch jarak yang hanya syarat. Akan tetapi, kami akan tetap mencarimu, anak yang kehilangan pelampung, sampai ke dasar laut, melihat koyakan tubuhmu. Sampai ke dasar kantung dan kenangan sendiri - karena kami semua bersalah, hallo, karena kami semua bersalah . . . .(Ditulis oleh Goenawan Mohamad, Cataton Pinggir 1, hlm. 506)
2. Esai Argumentatif
Jika kita menulis esai argumentatif, kita harus memenuhi satu persyaratan panting, yaitu keterampilan untuk bernalar dan kemampuan untuk mengatur gagasan di dalam satu aturan yang logis. Kita menulis esai argumentatif, misalnya untuk membantah atau menentang suatu proposisi tanpa perlu mencoba mempersuasi pembaca untuk menyetujui kita, untuk berargumentasi dengan cara sedemikian rupa guna mempersuasi pembaca untuk menyetujui kita untuk mencoba memecahkan suatu - masalah, dan untuk membahas atau mendiskusikan suatu masalah tanpa perlu mencapai pemecahan. Berikut ini contoh wacana esai argumentatif
Bahasa
Bahasa, kata orang tua kita, menunjukkan bangsa. Itu tak berarti bahwa orang tua kita sudah memikirkan suatu konsep 'nasionalisme", tentang keutuhan bangsa (notion) dengan bahasa.
Sebab bila kita terlemahkan dan renungkan kembali, kalimat di atas sebenarnya hanya menunjukkan kecenderungan suatu struktur masyarakat tertentu: keinginan untuk menilai kelas sosial seseorang dari cara bertutur orang itu. Dengan kato lain, seorang di timbang martabat dan latar belakangnya - apakah ia bangsawan atau bukan - dari cara ia menempatkan kata, dari loqu ia mengucapkan kalimat.
Hal ini bisa terlihat dengan jelas dalam bahasa Jawa misalnya. Seorang Jawa yang beriagak priyayi, tapi tak tahu di mana ia harus memakai kata sore dan di mana ia harus menggunakan kata tilem (kedua-duanya berarti "tidur"), akan tak diakui sebagai anggota lapisan yang luhur. Setidaknya, ia akan dianggap kurang tahu adat.
Maka bahasa pun ikut berfungsi sebagai pengontrol tingkah laku individu. Pak tani tak bisa akan seenaknya bersikap kepada Pak Bupati, karena Sejak awal proses yang berlangsung di kepalanya untuk menyatakan diri, ia sudah harus menempuh jalur yang ditentukan.
Memang menakjubkan bagaimana bahasa itu bisa menjadi semacam alat penggerak dari jauh, dalam suatu mekanisme remote control, bagi individu yang ratusan ribu jumlahnya. jelas suatu evolusi yang paniang dalam seiarah sosial-politik telah membentuk jaringan semacam itu. Dan sejarah sosial-politik itu pula, dengan segala korban dan pemenangnya, yang telah menciptakan pusat-pusat tertentu - tempat orang mengukur diri dalam berbahasa dan beradat-istiadat. Bahasa Jawa punya bahasa jawa Surakarta, bahasa Bugis punya bahasa Bugis-Bone.
Bahasa Indonesia, sebaliknya, belum mempunyai suatu centre of exellence yang sedemikion. Begitu ia berkembang dari bahasa Melayu-Riau meniadi bahasa pengantar untuk seluruh Nusantara, don apalagi setelah ia memencor di zaman Indonesia merdeka, ia 'kehilangan' suatu pusat. Mungkin tak ado jeleknya. Bahasa ini dengan demikian menjadi bahasa yang mudah diikuti, memiliki basis pendukung yang semakin luas, dan dengan demikian mempunyai kemungkinan yang semakin kaya. Tak ada ukuran yang mana yang "baik dan sopan" dan mana yang tidak. Ia tak perlu menjadi mahal untuk dipelajari.
Namun barangkali, seperti kata ahli bahasa, kita membutuhkan kesamaan dalam lambang-lambang. Kalau tidak, bahasa Indonesia bukanlah bahasa persatuan. Kita membutuhkan 'pembakuan". Dari semangat ini lahirlah ejaan baru, misalnya.
Ketika para ahli bahasa berhasil memperkenalkan dan mengharuskan kita memakai ejaan yang diperbarui, enam tahun yang lalu, suatu momentum sebenarnya terbangun. Tak kurang dari Kepala Negara sendiri yang menganjurkan agar kita 'berbahasa Indonesia yang baik dan benar"-apa pun artinya 'baik dan benar' itu. Di TVRI muncul pelajaran bahasa Indonesia. Di koran-koran diskusi teriadi. Di Jakarta nama-nama toko dan gedung tak boleh menggunakan bahasa asing.
Akan tetapi, ahli bahasa, dengan segala kecenderungan teknokratisnya, rupanya memang tak bisa diharapkan menjadi para penggerak masyarakat. Momentum yang terjadi telah terlepas. Kita tak segera memanfaatkannya. Seminar demi seminar selesai, belum juga terdengar jawab ke masyarakat:setelah ejaan, apa? Kita bahkan tambah 'Suyono' ataukah 'Sudjono'?
Sementara itu, ketika para ahli bahasa kita sibuk memikirkan bahasa tulisan (ejiaan adalah sendi pertamanya), kita pun seperti lupa pentingnya bahasa lisan, yong mungkin merupakan bahasa komunikasi 75% atau lebih dalam hidup kita: radio, TV, khotbah, pidato di balai desa. Kita lalai barangkali bahwa dengan memprioritaskan bahasa tulisan, kita memprioritaskan satu segi dari bahasa kita yang terbatas.
Akan tetapi, barangkali bahasa memang menunjukkan bangsa. Dalam arti lain bahwa apa yang baik dan apa yang terlantar di sana mencerminkan apa yang baik dan apa yang terlantar di antara kita. (Ditulis oleh Goenawan Mohomad, Cataton Pinggir 1, hlm. 316-317)
3. Esai Sastra
Esai sastra adalah persepsi kita (sebagai penulis esai) terhadap sastra (bersifat umum, universal); dan atau suatu karya dalam genre tertentu yang telah bersifat khusus, berkepribadian dan unik dari pengarangnya.
Esai sastra sebaiknya kita tulis berdasarkan penerimaan kita terhadap karya sastra. Itu sebabnya esai sastra berangkat dari hasil karya sastra yang telah kita baca. Ini juga berarti bahwa dalam menulis esai sastra kita tidak menerapkan suatu dalil atau teori umum ke dalam karya sastra itu.
Ada beberapa pendekatan yang dapat kita lakukan jika kita menulis esai sastra. Pendekatan tersebut adalah pendekatan yang berfokus pada teks, pendekatan historis, pendekatan biografis, pendekatan sosial, dan pendekatan psikologis. Berikut ini contoh wacana esai sastra.
"Berilah Aku Satu Kata Puisi"
. . . . . . Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus ilmu
yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar
kini jauh dari bumi yang kukasih.
Angkasa ini bisu.
Angkasa ini sepi.
Tetapi aku telah sampai pada
tepi. Darimana aku tak mungkin
lagi kembali.
(Soebagio Sastrowardojo, Manusia Pertama di Angkasa Luar, 1961).
Manusia pertama di angkasa luar (bukan Gagarin, Titof atau pun Sheppard) bagi Soebagio Sastrowardojo adalah korban. Ilmu penuh janji, tapi apa jadinya dengan orang yang satu ini?
Bagi para ahli ilmu, ia dikirim dalam pesawat ruang angkasa untuk dilihat bagaimana reaksi tubuh dan jiwa manusia di situ (monyet dan anjing juga diperlakukan demikian). Orang itu hanya satu dari sejumlah alat-alat eksperimen. Situasinya yang khusus dan konkrit tidak penting. Ia dipasang sebagai hasil abstraksi.
Ada benarnya bila kita membutuhkan suatu prestasi insaniah yang lain: kita menyodorkan seni, puisi. Dalam saiak Soebagio Sastrowardojo, manusia pertama di angkasa luar itu pada akhirnya juga memintanya. Sebab jika seni adalah pemberontakan seniman pada realitas, saya kira itu berarti ia tidak ingin menyerah kepada kebenaran rasionil menurut penerimaan manusia pada umumnya; ia ingin menjadi pribadi dalam situasinya yang khusus. Seruan agar diciptakan seni yang "bisa atau mudah dimengerti" (oleh semua orang, oleh rakyat) pada dasarnya mendasarkan seni kepada kebenaran rasionil.
Tapi realitas yang hanya diwakili oleh penampilan hasil prestasi rasional tidaklah lengkap. Alfred North Whitehead: "Apabila kita memahami segalanya tentang matahari, segalanya tentang atmosfir dan sebagainya tentang rotasi bumi, kita masih terluput untuk melihat kecemerlangan sinar matahari terbenam". Di saat melihat sinar matahari itu kita pun masing-masing punya pengalaman sendiri, yang talk sepenuhnya bisa dikomunikasikan secara persis, jelas. (Ditulis oleh Goenawan Mohamad, Kesusastraan daon Kekuasaan, hlm. 72-73)
C.RANGKUMAN
1. Esai ialah tulisan yang membicarakan pokok masalah tunggal yang biasanya berangkat dari pandangan pribadi penulisnya.
2. Ada tiga jenis esai, masing-masing adalah esai reflektif, esai argumentatif, dan esai sastra.
3. Esai reflektif adalah esai yang berisi suatu kegiatan kontemplatif terhadap pokok persoalan yang ditentukan dan yang berguna untuk menguji keterampilan kita dalam berpikir, mendeskripsikan, mengatur gagasan, menggunakan pengalaman, imajinasi, dan pengetahuan umum kita.
4. Esai argumentatif ialah esai yang berisi penalaran dan pengaturan gagasan di dalam aturan yang logis dan yang berguna untuk berargumentasi.
5. Esai sastra adalah esai yang berisi penerimaan dan pandangan penulis terhadap karya sastra.
6. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam menulis esai sastra adalah pendekatan yang berfokus pada teks, pendekatan historis, pendekatan biografis, pendekatan sosial, dan pendekatan psikologis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar