Rabu, 04 September 2013

TEORI ISER TENTANG RESEPSI SASTRA

Teori Resepsi Sastra Menurut Iser
Wolfgang Iser (1926-2007) adalah salah seorang pakar ilmu-ilmu sastra berke­bangsaan Jerman yang terke­nal dengan teori respons pembaca (reader-response theo­ry). Kritik Iser terhadap teori sastra adalah selama ini yang menjadi pusat perhatian sastra adalah maksud penulis, makna sosial, psikologi, kon­temporerisme, pengertian historis teks, atau cara teks dibangun, namun jarang terjadi kritik yang menyatakan bahwa teks hanya dapat memberikan arti ketika teks itu dibaca. Hemat Iser, inti pembacaan setiap karya sastra adalah interaksi antara strukturnya dan penerimanya. Itulah mengapa teori feno­menologi seni telah menarik perhatian bahwa kajian terha­dap karya sastra tidak hanya menyangkut teks yang sesung­guhnya, tetapi juga tindakan-tindakan yang terkait dalam menanggapi teks itu.
Teks dengan sendirinya hanya menawarkan “aspek skematis”, yaitu pokok perso­alan dari karya itu dapat dihasilkan, sementara produk­si yang sesungguhnya terjadi melalui tindakan konkretisasi. Oleh sebab itu, dapat dika­takan bahwa karya sastra memiliki dua buah kutub yang disebut kutub artistik dan kutub estetik. Kutub artistik adalah teks penulis, dan kutub estetik adalah realisasi yang disempurnakan oleh pembaca. Dari sudut pandang polaritas ini jelas bahwa karya itu sendiri tidak dapat diiden­tikkan dengan teks atau dengan konkretisasi, tetapi karya harus disituasikan di antara keduanya. Dalam karya sastra, pesan disampaikan melalui dua cara: pertama, pembaca menerima pesan, kedua, pembaca menyusun pesan itu. Dengan asumsi ini peneliiti harus mencari struktur yang memungkinkannya men­jelaskan kondisi dasar inte­raksi, karena hanya dengan cara itu, peneliti akan mampu mendapatkan pandangan ten­tang pengaruh potensial yang menyatu dalam karya itu.
Secara praktis setiap struk­tur yang dapat dilihat dalam fiksi memiliki dua sisi; yaitu sisi verbal dan sisi afektif. Sisi verbal membimbing reaksi dan mencegahnya dari reaksi yang sembarangan. Adapun sisi afektif adalah pemenuhan yang telah dibuat oleh struktur sebelumnya melalui bahasa teks. Penjelasan apa pun tentang interaksi antara kedu­anya harus menyatukan struk­tur pengaruh (teks) dan tang­ gapan (pembaca). Dalam hal ini, tugas seorang peneliti adalah menguraikan makna potensial dari suatu teks, bukan membatasinya dalam makna tunggal. Tegasnya, makna potensial suatu teks tidak pernah terpenuhi dalam proses pembacaan. Oleh karena itu, penting bagi peneliti memahami suatu makna seba­gai sesuatu yang terjadi karena hanya dengan cara itu, peneliti akan memahami faktor-faktor yang merupakan prakondisi komposisi dari suatu makna.
Adapun bentuk interpretasi tradisional, yang didasarkan pada pencarian makna tunggal oleh pembaca, cenderung meng­a­baikan karakter teks sebagai sesuatu kejadian dan penga­laman pembaca. Makna refe­ren­sial dalam konteks ini, pada awalnya, bersifat estetis karena ia memberikan dunia sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Oleh karena itu, sifat estetis suatu makna merupakan sesu­atu yang berubah sendiri men­jadi determinasi diskursif (wacana), atau menurut Kant, disebut sebagai am­phibolik: yaitu pada suatu ketika bersifat estetis, pada waktu yang lain bersifat diskursif.
Perubahan ini dikon­disikan oleh struktur makna yang bersifat fiksi. Dalam melakukan interpretasi digu­na­kan teknik pemaknaan tunggal yang me­ne­rangkan adanya per­bedaan, menga­baikan sepe­nuhnya fakta bahwa penga­laman estetis melahirkan pengalaman nonestetis. Di sini makna dipahami sebagai sebuah ekspresi, atau bahkan repre­sentasi dari nilai-nilai yang diakui secara kolektif. Pende­katan teknik pemaknaan tunggal ini dipastikan meru­pa­kan kompilasi makna, karena tujuannya sendiri adalah menyampaikan apa yang dipahami sebagai pema­knaan teks yang objektif dan dapat dijelaskan. Langkah-langkah di atas penting dilakukan karena teori yang berorientasi pada pembaca semenjak awal membuka kritik terhadap bentuk sub­jek­tivisme yang terkontrol. Hobsbaum secara tegas me­nun­jukkan adanya perbedaan dalam teori ini. Ia menga­takan bahwa teori-teori seni berbeda menurut derajat subjektivitas yang dikaitkan dengan tanggapan penerima, atau apa yang datang sebagai sesuatu yang sama, berbeda menurut tingkat objektivitas yang dikaitkan dengan karya seni.
Salah satu keberatan yang utama terhadap teori estetika resepsi adalah bahwa teori ini mengorbankan teks pada pemahaman yang sub­jektif, oleh sebab itu, menolak identitasnya sendiri. Semen­tara itu, keberatan yang lain adalah pada pengaruh teks sastra yang terdapat pada apa yang disebut Wimsatt dan Beardsley sebagai “affective fallacy” (kesalahan gagasan). Ini merupakan bentuk keka­cauan antara syair dan hasil­nya (apakah syair itu dan apa yang dilakukan syair itu). Sebagai konsekuensinya pen­dekatan baik dan buruk ha­nya berhu­bungan dengan sifat dari hasil. Oleh sebab itu, pertanyaan yang muncul ada­lah persoalan yang sesung­guhnya tidak bersandar pada fakta sehingga kita lebih cenderung menyamakan sebu­ah karya seni dengan hasil diban­ding kualitas dari hasil itu.
Fakta inilah yang menye­babkan banyaknya persoalan estetis dalam karya sastra. Dalam hal ini, kita dapat mengatakan bahwa teks mela­hirkan ‘performansi’ makna daripada perumusan mak­nanya sendiri. Kualitas este­tisnya terdapat dalam struktur ‘performansi’ yang jelas tidak dapat diidentikkan dengan produk akhir karena tanpa partisipasi pembaca individu, maka tidak akan terjadi performansi itu. Dengan de­mikian “affective fallacy” tidak dapat diaplikasikan pada teori estetika resepsi karena teori ini berkaitan dengan struktur ‘performansi’ yang mendahului pengaruhnya. Lebih jauh, teori estetika resepsi melakukan pemisahan analitis terhadap performansi dan hasil sebagai premis dasar, dan premis ini biasanya tidak diperhitungkan ketika para pembaca atau kritikus bertanya “Apakah arti teks itu?”
Banyak tipe pembaca yang muncul ketika kritik sastra membuat pernyataan tentang pengaruh karya sastra atau tanggapan terhadap karya sastra. Dalam hal ini, terda­pat dua kategori. Pertama, kita menemukan pembaca ‘riil’ (sejati), yang dikenal dengan reaksinya yang terdo­kumentasi. Kedua, kita mene­mukan pembaca ‘hipotetis’, dengannya semua kemung­kinan aktualisasi teks dapat diproyeksikan. Kategori yang terakhir ini seringkali dibagi menjadi apa yang disebut sebagai “pembaca ideal” dan “pembaca kontemporer”. Pem­baca riil terutama muncul dalam studi sejarah tangga­pan, misalnya, ketika perha­tian difokuskan pada cara dimana karya sastra diterima oleh publik. Adapun penilaian apa saja yang disampaikan pada karya itu juga akan mencerminkan kode kultural yang mengondisikan penilaian-penilaian tersebut. Dalam hal ini, setidak-tidaknya ada dua tipe pembaca ‘kontemporer’ dan pembaca riil.
Yang pertama dibangun dari pengetahuan sosial dan sejarah kala itu, dan kedua diperhitungkan dari peranan pembaca yang disandarkan pada teks. Sementara itu hampir berlawanan secara diametris, pembaca kontem­porer menentukan pembaca ideal yang dimaksudkan. Dalam hal ini, sulit untuk menunjukkan dari mana pem­ba­ca ideal berasal. Namun demikian terdapat kecen­derungan yang mengklaim bahwa dia cenderung muncul dari pemikiran ahli filologi atau kritik itu sendiri.
Seorang pembaca ideal harus memiliki kode yang identik dengan kode yang dimi­liki penulis; bagaima­napun juga, para penulis biasanya menyusun kembali kode-kode yang ada di dalam teksnya, dan pembaca ideal juga ikut memberikan tujuan yang mendasari proses itu. Selanjutnya, pembaca ideal tidak hanya memenuhi makna yang potensial dari teks secara independen dari situasi historis­nya sendiri, tetapi juga harus melakukannya dengan sungguh-sungguh. Pembaca ideal murni bersifat fiksi; dia tidak memiliki dasar dalam realitas, dan fakta inilah yang membuatnya men­jadi begitu berguna (Donny Syofyan, Dosen FIB Universitas Andalas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar