Teori Resepsi Sastra Menurut Iser
Wolfgang Iser (1926-2007) adalah salah seorang pakar ilmu-ilmu sastra berkebangsaan Jerman yang terkenal dengan teori respons pembaca (reader-response theory). Kritik Iser terhadap teori sastra adalah selama ini yang menjadi pusat perhatian sastra adalah maksud penulis, makna sosial, psikologi, kontemporerisme, pengertian historis teks, atau cara teks dibangun, namun jarang terjadi kritik yang menyatakan bahwa teks hanya dapat memberikan arti ketika teks itu dibaca. Hemat Iser, inti pembacaan setiap karya sastra adalah interaksi antara strukturnya dan penerimanya. Itulah mengapa teori fenomenologi seni telah menarik perhatian bahwa kajian terhadap karya sastra tidak hanya menyangkut teks yang sesungguhnya, tetapi juga tindakan-tindakan yang terkait dalam menanggapi teks itu.
Teks dengan sendirinya hanya menawarkan “aspek skematis”, yaitu pokok persoalan dari karya itu dapat dihasilkan, sementara produksi yang sesungguhnya terjadi melalui tindakan konkretisasi. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa karya sastra memiliki dua buah kutub yang disebut kutub artistik dan kutub estetik. Kutub artistik adalah teks penulis, dan kutub estetik adalah realisasi yang disempurnakan oleh pembaca. Dari sudut pandang polaritas ini jelas bahwa karya itu sendiri tidak dapat diidentikkan dengan teks atau dengan konkretisasi, tetapi karya harus disituasikan di antara keduanya. Dalam karya sastra, pesan disampaikan melalui dua cara: pertama, pembaca menerima pesan, kedua, pembaca menyusun pesan itu. Dengan asumsi ini peneliiti harus mencari struktur yang memungkinkannya menjelaskan kondisi dasar interaksi, karena hanya dengan cara itu, peneliti akan mampu mendapatkan pandangan tentang pengaruh potensial yang menyatu dalam karya itu.
Secara praktis setiap struktur yang dapat dilihat dalam fiksi memiliki dua sisi; yaitu sisi verbal dan sisi afektif. Sisi verbal membimbing reaksi dan mencegahnya dari reaksi yang sembarangan. Adapun sisi afektif adalah pemenuhan yang telah dibuat oleh struktur sebelumnya melalui bahasa teks. Penjelasan apa pun tentang interaksi antara keduanya harus menyatukan struktur pengaruh (teks) dan tang gapan (pembaca). Dalam hal ini, tugas seorang peneliti adalah menguraikan makna potensial dari suatu teks, bukan membatasinya dalam makna tunggal. Tegasnya, makna potensial suatu teks tidak pernah terpenuhi dalam proses pembacaan. Oleh karena itu, penting bagi peneliti memahami suatu makna sebagai sesuatu yang terjadi karena hanya dengan cara itu, peneliti akan memahami faktor-faktor yang merupakan prakondisi komposisi dari suatu makna.
Adapun bentuk interpretasi tradisional, yang didasarkan pada pencarian makna tunggal oleh pembaca, cenderung mengabaikan karakter teks sebagai sesuatu kejadian dan pengalaman pembaca. Makna referensial dalam konteks ini, pada awalnya, bersifat estetis karena ia memberikan dunia sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Oleh karena itu, sifat estetis suatu makna merupakan sesuatu yang berubah sendiri menjadi determinasi diskursif (wacana), atau menurut Kant, disebut sebagai amphibolik: yaitu pada suatu ketika bersifat estetis, pada waktu yang lain bersifat diskursif.
Perubahan ini dikondisikan oleh struktur makna yang bersifat fiksi. Dalam melakukan interpretasi digunakan teknik pemaknaan tunggal yang menerangkan adanya perbedaan, mengabaikan sepenuhnya fakta bahwa pengalaman estetis melahirkan pengalaman nonestetis. Di sini makna dipahami sebagai sebuah ekspresi, atau bahkan representasi dari nilai-nilai yang diakui secara kolektif. Pendekatan teknik pemaknaan tunggal ini dipastikan merupakan kompilasi makna, karena tujuannya sendiri adalah menyampaikan apa yang dipahami sebagai pemaknaan teks yang objektif dan dapat dijelaskan. Langkah-langkah di atas penting dilakukan karena teori yang berorientasi pada pembaca semenjak awal membuka kritik terhadap bentuk subjektivisme yang terkontrol. Hobsbaum secara tegas menunjukkan adanya perbedaan dalam teori ini. Ia mengatakan bahwa teori-teori seni berbeda menurut derajat subjektivitas yang dikaitkan dengan tanggapan penerima, atau apa yang datang sebagai sesuatu yang sama, berbeda menurut tingkat objektivitas yang dikaitkan dengan karya seni.
Salah satu keberatan yang utama terhadap teori estetika resepsi adalah bahwa teori ini mengorbankan teks pada pemahaman yang subjektif, oleh sebab itu, menolak identitasnya sendiri. Sementara itu, keberatan yang lain adalah pada pengaruh teks sastra yang terdapat pada apa yang disebut Wimsatt dan Beardsley sebagai “affective fallacy” (kesalahan gagasan). Ini merupakan bentuk kekacauan antara syair dan hasilnya (apakah syair itu dan apa yang dilakukan syair itu). Sebagai konsekuensinya pendekatan baik dan buruk hanya berhubungan dengan sifat dari hasil. Oleh sebab itu, pertanyaan yang muncul adalah persoalan yang sesungguhnya tidak bersandar pada fakta sehingga kita lebih cenderung menyamakan sebuah karya seni dengan hasil dibanding kualitas dari hasil itu.
Fakta inilah yang menyebabkan banyaknya persoalan estetis dalam karya sastra. Dalam hal ini, kita dapat mengatakan bahwa teks melahirkan ‘performansi’ makna daripada perumusan maknanya sendiri. Kualitas estetisnya terdapat dalam struktur ‘performansi’ yang jelas tidak dapat diidentikkan dengan produk akhir karena tanpa partisipasi pembaca individu, maka tidak akan terjadi performansi itu. Dengan demikian “affective fallacy” tidak dapat diaplikasikan pada teori estetika resepsi karena teori ini berkaitan dengan struktur ‘performansi’ yang mendahului pengaruhnya. Lebih jauh, teori estetika resepsi melakukan pemisahan analitis terhadap performansi dan hasil sebagai premis dasar, dan premis ini biasanya tidak diperhitungkan ketika para pembaca atau kritikus bertanya “Apakah arti teks itu?”
Banyak tipe pembaca yang muncul ketika kritik sastra membuat pernyataan tentang pengaruh karya sastra atau tanggapan terhadap karya sastra. Dalam hal ini, terdapat dua kategori. Pertama, kita menemukan pembaca ‘riil’ (sejati), yang dikenal dengan reaksinya yang terdokumentasi. Kedua, kita menemukan pembaca ‘hipotetis’, dengannya semua kemungkinan aktualisasi teks dapat diproyeksikan. Kategori yang terakhir ini seringkali dibagi menjadi apa yang disebut sebagai “pembaca ideal” dan “pembaca kontemporer”. Pembaca riil terutama muncul dalam studi sejarah tanggapan, misalnya, ketika perhatian difokuskan pada cara dimana karya sastra diterima oleh publik. Adapun penilaian apa saja yang disampaikan pada karya itu juga akan mencerminkan kode kultural yang mengondisikan penilaian-penilaian tersebut. Dalam hal ini, setidak-tidaknya ada dua tipe pembaca ‘kontemporer’ dan pembaca riil.
Yang pertama dibangun dari pengetahuan sosial dan sejarah kala itu, dan kedua diperhitungkan dari peranan pembaca yang disandarkan pada teks. Sementara itu hampir berlawanan secara diametris, pembaca kontemporer menentukan pembaca ideal yang dimaksudkan. Dalam hal ini, sulit untuk menunjukkan dari mana pembaca ideal berasal. Namun demikian terdapat kecenderungan yang mengklaim bahwa dia cenderung muncul dari pemikiran ahli filologi atau kritik itu sendiri.
Seorang pembaca ideal harus memiliki kode yang identik dengan kode yang dimiliki penulis; bagaimanapun juga, para penulis biasanya menyusun kembali kode-kode yang ada di dalam teksnya, dan pembaca ideal juga ikut memberikan tujuan yang mendasari proses itu. Selanjutnya, pembaca ideal tidak hanya memenuhi makna yang potensial dari teks secara independen dari situasi historisnya sendiri, tetapi juga harus melakukannya dengan sungguh-sungguh. Pembaca ideal murni bersifat fiksi; dia tidak memiliki dasar dalam realitas, dan fakta inilah yang membuatnya menjadi begitu berguna (Donny Syofyan, Dosen FIB Universitas Andalas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar