Senin, 29 Juli 2013

Mencari Satu Aksara "K"

Harian Umum Flores Pos edisi Jumat (29/10) seperti biasanya tiba di Kisol sore hari. Edisi ini cukup banyak menyita perhatian kami karena memuat beberapa berita dan tulisan yang bersentuhan dengan masalah kebahasaan dan keberbahasaan. Edisi tersebut menarik juga karena memuat aneka laporan  kegiatan kelompok dan lembaga pendidikan yang berusaha memaknai hari Sumpah Pemuda yang secara tersirat mewacanakan komitmen para pendahulu bangsa ini perihal pentingnya menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Sebagai pembaca, kami memberi apresiasi terhadap beberapa berita seputar “Bulan Bahasa” yang dipublikasikan melalui media Flores Pos ini. Setelah menikmati ulasan teman kami, Yan Sahandi, pada halaman pertama kami membaca laporan kegiatan yang dilakukan warga SMAK St.Petrus Ende (hlm.9) dengan judul yang menggugah kesadaran kami sebagai “pegulat” bahasa. Judul laporan kegiatan itu, minimal memberi harapan bahwa Bahasa Indonesia  masih dilirik dan diperhitungkan di lingkungan akademis. Laporan tentang Seminar yang dilakukan oleh  lembaga pendidikan seperti itu jelas tidak didasarkan atas pertimbangan popularitas lembaga tetapi terutama dan pertama-tama karena ingin menularkan berita gembira pengetahuan buat pembaca.
Laporan kegiatan seminar itu dilengkapi dengan foto para aktor dengan penampilan yang sungguh mencitrakan kesan sarat dengan konsep ilmiah dalam membedah bahasa sebagai harta milik berharga. Bagi kebanyakan pembaca dan pembaca kebanyakan foto yang menjadi penguat berita laporan kegiatan seminar bahasa itu mungkin menarik. Bagi kami, penempatan foto penguat berita itu justru melemahkan komitmen harapan peserta seminar akan sentralnya peran Bahasa Indonesia. Semua ajakan, imbauan persuasif yang dilansir dalam berita itu menjadi mubazir ketika foto latar yang memuat tulisan tentang tema Seminar menampilkan ketidaktaatasasan pada kaidah kebahasaan dan keberbahasaan yang yang sesungguhnya.
Tulisan pada foto latar berita jelas meluluhlantakkan aneka argumentasi yang ditawarkan dalam seminar itu. Penulisan tema seminar: “BAHASA MENUNJUKAN JATI DIRI BANGSA” bagi kami, jelas menunjukkan komitmen setengah hati para penggagas dan peserta seminar itu untuk berbahasa dan membahasakan bahasa itu secara benar. Kata “MENUNJUKAN” sengaja kami miringkan karena pada kata itulah kita dapatkan penulisan yang tidak sesuai dengan kaidah morfologi (pembentukan kata) dalam Bahasa Indonesia.
Kesalahan menuliskan kata “menunjukan” pada latar kegiatan seminar itu mungkin tampaknya sepele tetapi itu sangat mendasar dan amat dahsyat pengaruhnya bagi pembaca yang ingin belajar berbahasa secara benar. Kekuatan pengaruh seperti itu terjadi karena orang bisa belajar dari apa yang dilihat, dibacanya. Dalam dunia kewartawanan ada yang  namanya “agenda setting”. Konsep agenda setting terkait erat dengan peran, fungsi sebuah media termasuk surat kabar. Konsep agenda setting secara sederhana dapat diringkas: apa yang baik menurut media pasti baik untuk pembaca. Apa yang dimuat di surat kabar dianggap baik dan benar oleh penyelenggara media diandaikan baik dan benar juga oleh para pembaca. Konsekensinya, apa yang dicetak pada media (termasuk yang salah) bisa dijadikan referensi, rujukan dan dianggap benar oleh pembaca.
Dalam konteks penulisan tema seminar tadi semua peserta seminar berjumlah 680 siswa jelas menganggap tulisan itu benar. Lebih fatal lagi jika tulisan yang membingkai foto itu dianggap benar oleh semua pembaca dan pencinta Flores Pos. Karena itulah, melalui tulisan ini kami menjelaskan konsep berbahasa yang baik dan konsep berbahasa yang benar. Konsep baik dan benar dalam berbahasa mengacu pada dua hal yang berbeda. Berbahasa baik mengacu pada kompetensi komunikatif seseorang sedangkan berbahasa yang benar mengacu pada komptensi linguistik seseroang. Dalam bahasa yang baik, kriteria yang dipakai adalah ketercapaian maksud pembicara kepada mitra bicaranya. Konstruksi “Adik guting kertas” misalnya, merupakan konstruksi berbahasa yang baik tetapi bukan berbahasa yang benar. Orang yang membaca konstruksi itu mengerti maksudnya. Sampai di sini lahirlah bahasa yang baik. Konstruksi itu bukan berbahasa yang benar karena tidak sesuai dengan struktur dan kaidah sintaksis (tata kalimat) Bahasa Indonesia. Konstruksi itu tidak bisa disebut kalimat karena kalimat mengharuskan adanya kata kerja (verba) yang menempati fungsi predikat. Konstruksi “Adik gunting kerta” terbentuk dari pronomina (adik), nomina (gunting), nomina (kertas). Konstruksi itu baru menjadi kalimat dalam konteks berbahasa yang benar kalau bentuk nomina (gunting) dipindahkan kategorinya menjadi kata kerja (menggunting). Konstruksi “Adik menggunting kertas” merupakan kalimat yang benar. Bentuk “Adik gunting kertas” bentuk bahasa yang baik
Penggunaan bentuk tulisan “menunjukan”  dalam konteks berita seminar di atas jelas bukan bentuk yang benar karena ada komptensi linguistik (aspek morfologi) yang diabaikan. Bentuk dasar kata “menunjukan” adalah tunjuk. Bentuk dasar itu mengalami proses morfologis bila diimbuhi dengan imbuhan awal (prefiks), imbuhan sisipan (infiks), imbuhan akhir (sufiks),  dan imbuhan gabungan (konfiks). Bahasa Indonesia mengenal adanya konfiks me-/-kan dan tidak mengenal konfiks me-/-an. Jika bentuk “tunjuk” diimbuhi dengan konfiks me-/-kan maka terbentuklah kata menunjukkan  bukan menunjukan seperti yang ada pada latar kegitan seminar di atas.
Bagi kami, munculnya bentuk yang salah “menunjukan” dalam laporan berita seperti ini bisa memberi petunjuk  belum adanya persegeseran paradigma tentang hakikat belajar bahasa di sekolah-sekolah kita. Kita memang mesti membedakan belajar berbahasa dan belajar tentang bahasa. Belajar berbahasa bisa yang baik, bisa yang benar. Belajar tentang berbahasa bisa yang baik, bisa yang benar. Seminar membahas masalah berbahasa seperti diberitakan merupakan cara belajar tentang bahasa (pengetahuan). Belajar tentang berbahasa hanya bermakna kalau sampai pada tahan belajar berbahasa arti mengunakan bahasa itu secara benar. Mari kita belajar mencintai Bahasa Indonesia dengan berlajar tentang berbahasa dengan cara belajar berbahasa. Belajar tentang berbahasa harus mengabdi pada belajar berberhasa. Itu artinya, apa yang dipelajari sebagai komptensi linguistik harus bisa tampak tataran penerapannya. Inilah masalah pokok para peserta seminar yang kami angkat dalam tulisan ini. Satu aksara “K”yang kami kirimkan tentu bukan hanya untuk warga SMAK St.Petrus Ende tetapi juga bagi pembaca tulisan ini. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar