Senin, 29 Juli 2013

Mencari Satu Aksara "K"

Harian Umum Flores Pos edisi Jumat (29/10) seperti biasanya tiba di Kisol sore hari. Edisi ini cukup banyak menyita perhatian kami karena memuat beberapa berita dan tulisan yang bersentuhan dengan masalah kebahasaan dan keberbahasaan. Edisi tersebut menarik juga karena memuat aneka laporan  kegiatan kelompok dan lembaga pendidikan yang berusaha memaknai hari Sumpah Pemuda yang secara tersirat mewacanakan komitmen para pendahulu bangsa ini perihal pentingnya menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Sebagai pembaca, kami memberi apresiasi terhadap beberapa berita seputar “Bulan Bahasa” yang dipublikasikan melalui media Flores Pos ini. Setelah menikmati ulasan teman kami, Yan Sahandi, pada halaman pertama kami membaca laporan kegiatan yang dilakukan warga SMAK St.Petrus Ende (hlm.9) dengan judul yang menggugah kesadaran kami sebagai “pegulat” bahasa. Judul laporan kegiatan itu, minimal memberi harapan bahwa Bahasa Indonesia  masih dilirik dan diperhitungkan di lingkungan akademis. Laporan tentang Seminar yang dilakukan oleh  lembaga pendidikan seperti itu jelas tidak didasarkan atas pertimbangan popularitas lembaga tetapi terutama dan pertama-tama karena ingin menularkan berita gembira pengetahuan buat pembaca.
Laporan kegiatan seminar itu dilengkapi dengan foto para aktor dengan penampilan yang sungguh mencitrakan kesan sarat dengan konsep ilmiah dalam membedah bahasa sebagai harta milik berharga. Bagi kebanyakan pembaca dan pembaca kebanyakan foto yang menjadi penguat berita laporan kegiatan seminar bahasa itu mungkin menarik. Bagi kami, penempatan foto penguat berita itu justru melemahkan komitmen harapan peserta seminar akan sentralnya peran Bahasa Indonesia. Semua ajakan, imbauan persuasif yang dilansir dalam berita itu menjadi mubazir ketika foto latar yang memuat tulisan tentang tema Seminar menampilkan ketidaktaatasasan pada kaidah kebahasaan dan keberbahasaan yang yang sesungguhnya.
Tulisan pada foto latar berita jelas meluluhlantakkan aneka argumentasi yang ditawarkan dalam seminar itu. Penulisan tema seminar: “BAHASA MENUNJUKAN JATI DIRI BANGSA” bagi kami, jelas menunjukkan komitmen setengah hati para penggagas dan peserta seminar itu untuk berbahasa dan membahasakan bahasa itu secara benar. Kata “MENUNJUKAN” sengaja kami miringkan karena pada kata itulah kita dapatkan penulisan yang tidak sesuai dengan kaidah morfologi (pembentukan kata) dalam Bahasa Indonesia.
Kesalahan menuliskan kata “menunjukan” pada latar kegiatan seminar itu mungkin tampaknya sepele tetapi itu sangat mendasar dan amat dahsyat pengaruhnya bagi pembaca yang ingin belajar berbahasa secara benar. Kekuatan pengaruh seperti itu terjadi karena orang bisa belajar dari apa yang dilihat, dibacanya. Dalam dunia kewartawanan ada yang  namanya “agenda setting”. Konsep agenda setting terkait erat dengan peran, fungsi sebuah media termasuk surat kabar. Konsep agenda setting secara sederhana dapat diringkas: apa yang baik menurut media pasti baik untuk pembaca. Apa yang dimuat di surat kabar dianggap baik dan benar oleh penyelenggara media diandaikan baik dan benar juga oleh para pembaca. Konsekensinya, apa yang dicetak pada media (termasuk yang salah) bisa dijadikan referensi, rujukan dan dianggap benar oleh pembaca.
Dalam konteks penulisan tema seminar tadi semua peserta seminar berjumlah 680 siswa jelas menganggap tulisan itu benar. Lebih fatal lagi jika tulisan yang membingkai foto itu dianggap benar oleh semua pembaca dan pencinta Flores Pos. Karena itulah, melalui tulisan ini kami menjelaskan konsep berbahasa yang baik dan konsep berbahasa yang benar. Konsep baik dan benar dalam berbahasa mengacu pada dua hal yang berbeda. Berbahasa baik mengacu pada kompetensi komunikatif seseorang sedangkan berbahasa yang benar mengacu pada komptensi linguistik seseroang. Dalam bahasa yang baik, kriteria yang dipakai adalah ketercapaian maksud pembicara kepada mitra bicaranya. Konstruksi “Adik guting kertas” misalnya, merupakan konstruksi berbahasa yang baik tetapi bukan berbahasa yang benar. Orang yang membaca konstruksi itu mengerti maksudnya. Sampai di sini lahirlah bahasa yang baik. Konstruksi itu bukan berbahasa yang benar karena tidak sesuai dengan struktur dan kaidah sintaksis (tata kalimat) Bahasa Indonesia. Konstruksi itu tidak bisa disebut kalimat karena kalimat mengharuskan adanya kata kerja (verba) yang menempati fungsi predikat. Konstruksi “Adik gunting kerta” terbentuk dari pronomina (adik), nomina (gunting), nomina (kertas). Konstruksi itu baru menjadi kalimat dalam konteks berbahasa yang benar kalau bentuk nomina (gunting) dipindahkan kategorinya menjadi kata kerja (menggunting). Konstruksi “Adik menggunting kertas” merupakan kalimat yang benar. Bentuk “Adik gunting kertas” bentuk bahasa yang baik
Penggunaan bentuk tulisan “menunjukan”  dalam konteks berita seminar di atas jelas bukan bentuk yang benar karena ada komptensi linguistik (aspek morfologi) yang diabaikan. Bentuk dasar kata “menunjukan” adalah tunjuk. Bentuk dasar itu mengalami proses morfologis bila diimbuhi dengan imbuhan awal (prefiks), imbuhan sisipan (infiks), imbuhan akhir (sufiks),  dan imbuhan gabungan (konfiks). Bahasa Indonesia mengenal adanya konfiks me-/-kan dan tidak mengenal konfiks me-/-an. Jika bentuk “tunjuk” diimbuhi dengan konfiks me-/-kan maka terbentuklah kata menunjukkan  bukan menunjukan seperti yang ada pada latar kegitan seminar di atas.
Bagi kami, munculnya bentuk yang salah “menunjukan” dalam laporan berita seperti ini bisa memberi petunjuk  belum adanya persegeseran paradigma tentang hakikat belajar bahasa di sekolah-sekolah kita. Kita memang mesti membedakan belajar berbahasa dan belajar tentang bahasa. Belajar berbahasa bisa yang baik, bisa yang benar. Belajar tentang berbahasa bisa yang baik, bisa yang benar. Seminar membahas masalah berbahasa seperti diberitakan merupakan cara belajar tentang bahasa (pengetahuan). Belajar tentang berbahasa hanya bermakna kalau sampai pada tahan belajar berbahasa arti mengunakan bahasa itu secara benar. Mari kita belajar mencintai Bahasa Indonesia dengan berlajar tentang berbahasa dengan cara belajar berbahasa. Belajar tentang berbahasa harus mengabdi pada belajar berberhasa. Itu artinya, apa yang dipelajari sebagai komptensi linguistik harus bisa tampak tataran penerapannya. Inilah masalah pokok para peserta seminar yang kami angkat dalam tulisan ini. Satu aksara “K”yang kami kirimkan tentu bukan hanya untuk warga SMAK St.Petrus Ende tetapi juga bagi pembaca tulisan ini. Semoga bermanfaat.

Minggu, 28 Juli 2013

Mencontek Menyontek

Pada suatu kesempatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), seorang guru berkomentar tentang  hasil ujian nasional (Unas)  di sekolahnya yang dinilainya tidak memuaskan. Ia tidak merasa puas  karena sebagian besar siswanya memperoleh nilai yang tidak memuaskan dan jauh dari yang diprediksinya. Ketidakpuasan sang guru dipicu oleh adanya data hasil Unas yang membanggakan yang diraih para siswa dari sekolah yang berlokasi jauh dari pusat pemerintahan kabupaten. Ketika ditanyakan alasan anjloknya perolehan nilai Unas itu, sang guru berujar: (1) “Ya… mungkin karena di sekolahku pengawasannya terlalu ketat sehingga siswa tidak bisa mencontek saat Unas berlangsung.” Guru lain menambahkan: (2) “ Terlepas dari ada tidaknya kasus menyontek yang dilakukan peserta, yang penting untuk kita saat adalah mau bercermin pada hasil Unas itu untuk lebih maju”.
Berdasarkan dua ujaran  di atas, seorang perseta lain mengajukan pertanyaan kepada kami perihal penggunaan bentuk mencontek dan menyontek pada wacana (1) dan (2) di aas. Persoalannya bukan masalah benar tidaknya aksi mencontek atau menyontek yang dilakukan peserta Unas tetapi terutama berkaitan dengan persoalan bahasa. Berkaitan dengan bentuk yang baku, bentuk standar yang harus digunakan. Apakah bentuk mencontek atau bentuk menyontek.
Untuk menjawab persoalan seperti ini kita harus mencermati dua bentukan itu. Baik mencontek maupun menyontek keduanya sama-sama merupakan bentuk turunan dari dua bentuk dasar yang berbeda. Jika dilihat dari proses morfologisnya kedua kata itu merupakan bentuk turunan dari bentuk dasar yang sama-sama diimbuhi prefiks me- yang mengalami penazalan atau (meN-). Bentuk mencontek secara paradigmatis dapat disejajarkan dengan bentuk mencetak, mencuci, mencuri, mencedok, mencincang, mencerna, mencoba, mencebur. Semua bentuk ini diturunkan (dalam proses morfologis) dari bentuk dasar cetak, cuci, curi, cedok, cincang, cerna, coba cebur. Bentuk menyontek juga secara paradigmatis dapat disejajarkan dengan bentuk menyogok, menyambut, menyusul, menyumbat, menyandang, menyepak. Bentuk-bentuk ini diturunkan (dalam proses morfologis) dari bentuk dasar sogok, sabut, susul, sumbat, sandang, sepak.
Bentuk mencontek (imbuhan me- menjadi men-) dan menyontek (imbuhan me- menjadi meny-) dapat dijelaskan perdasarkan kaidah morfologis penggunaan imbuhan me-. Menurut kaidah morfologis imbuhan me- dapat mengalami variasi bentuk (disebut alomorf) bergantung pada bentuk dasar yang diimbuhi prefis me-. Prefiks me- dapat berubah bentuk (beralomorf) menjadi me-, men-, meng-, meny-, menge- bergantung pada bunyi awal kata atau bentuk dasar yang diimbuhi. Alomorf men- muncul jika prefiks me- dilekatkan pada kata atau bentuk dasar yang diawali dengan bunyi /d/, /c/, /t/  dan  alomorf meny- muncul jika me dilekatkan pada bentuk dasar yang diawali bynyi /s/.
Berdasarkan kaidah morfologis prefiks me- ini kita dapat memastikan bahwa bentuk mencontek dan menyontek merupakan bentuk turunan dari bentuk dasar contek dan sontek. Persoalan, bentuk turunan mana yang benar apakah mencontek atau menyontek dapat dijawab secara pasti dengan merunut kedua bentuk itu. Apakah dua bentuk dasar itu merupakan dua kata yang dapat ditemukan dalam daftar kata atau lebih tepat dalam kamus bahasa Indonesia? Jika keduanya merupakan bentuk dasar yang baku dan ditemukan dalam kamus maka dua bentuk itu dianggap benar dan diterima sebagai bentuk baku.
Tinggal sekarang kita membuka kamus. Apakah ada bentuk dasar contek dan bentuk dasar sontek? Ternyata kamus memuat kata contek tetapi disertai tanda tanya dan tanpa penjelasan bahkan penjelasannya harus merujuk pada bentuk sontek yang disertai penjelasannya. Dengan demikian bentuk contek meskipun tercantum dalam kamus merupakan bentuk bahasa populer sedangkan bentuk yang baku adalah bentuk sontek. Dapat disimpulkan bahwa bentuk dasar yang baku adalah sotek dan turunannya yang baku adalah menyontek.

Sabtu, 27 Juli 2013

KALIMAT BAHASA INDONESIA

KALIMAT

a.       Pengertian
Kalimat adalah satuan bahasa yang terdiri dari dua kata atau lebih yang mengandung pikiran yang lengkap dan punya pola intonasi akhir.
                Contoh: Ayah membaca koran di teras belakang.
b.       Pola-pola kalimat
Sebuah kalimat luas dapat dipulangkan pada pola-pola dasar yang dianggap menjadi dasar pembentukan kalimat luas itu.
1.       Pola kalimat I = kata benda-kata kerja
Contoh: Adik menangis. Anjing dipukul.
Pola kalimat I disebut kalimat ”verbal”
2.       Pola kalimat II = kata benda-kata sifat
Contoh: Anak malas. Gunung tinggi.
Pola kalimat II disebut pola kalimat ”atributif”
3.       Pola kalimat III = kata benda-kata benda
Contoh: Bapak pengarang. Paman Guru
Pola pikir kalimat III disebut kalimat nominal atau kalimat ekuasional. Kalimat ini mengandung kata kerja bantu, seperti: adalah, menjadi, merupakan.
4.       Pola kalimat IV (pola tambahan) = kata benda-adverbial
Contoh: Ibu ke pasar. Ayah dari kantor.
Pola kalimat IV disebut kalimat adverbial

Jenis Kalimat
1.       Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya terdiri atas dua unsur inti pembentukan kalimat (subjek dan predikat) dan boleh diperluas dengan salah satu atau lebih unsur-unsur tambahan (objek dan keterangan), asalkan unsur-unsur tambahan itu tidak membentuk pola kalimat baru.

Kalimat Tunggal
Susunan Pola Kalimat
Ayah merokok.
Adik minum susu.
Ibu menyimpan uang di dalam laci.
S-P
S-P-O
S-P-O-K


2.       Kalimat Majemuk
Kalimat majemuk adalah kalimat-kalimat yang mengandung dua pola kalimat atau lebih. Kalimat majemuk dapat terjadi dari:
a.       Sebuah kalimat tunggal yang bagian-bagiannya diperluas sedemikian rupa sehingga perluasan itu membentuk satu atau lebih pola kalimat baru, di samping pola yang sudah ada.
Misalnya:       Anak itu membaca puisi. (kalimat tunggal)
Anak yang menyapu di perpustakaan itu sedang membaca puisi.
(subjek pada kalimat pertama diperluas)
b.       Penggabungan dari dua atau lebih kalimat tunggal sehingga kalimat yang baru mengandung dua atau lebih pola kalimat.
Misalnya:       Susi menulis surat (kalimat tunggal I)
Bapak membaca koran (kalimat tunggal II)
                    Susi menulis surat dan Bapak membaca koran.
Berdasarkan sifat hubungannya, kalimat majemuk dapat dibedakan atas kalimat majemuk setara, kalimat majemuk bertingkat, dan kalimat majemuk campuran.
1)       Kalimat majemuk setara
Kalimat majemuk setara adalah kalimat majemuk yang hubungan antara pola-pola kalimatnya sederajat. Kalimat majemuk setara terdiri atas:
a.       Kalimat majemuk setara menggabungkan. Biasanya menggunakan kata-kata tugas: dan, serta, lagipula, dan sebagainya.
        Misalnya: Sisca anak yang baik lagi pula sangat pandai.
b.       Kalimat majemuk serta memilih. Biasanya memakai kata tugas: atau, baik, maupun.
                        Misalnya: Bapak minum teh atau Bapak makan nasi.
c.        Kalimat majemuk setara perlawanan. Biasanya memakai kata tugas: tetapi, melainkan.
                        Misalnya: Dia sangat rajin, tetapi adiknya sangat pemalas.

2)       Kalimat majemuk bertingkat
Kalimat majemuk yang terdiri dari perluasan kalimat tunggal, bagian kalimat yang diperluas sehingga membentuk kalimat baru yang disebut anak kalimat. Sedangkan kalimat asal (bagian tetap) disebut induk kalimat. Ditinjau dari unsur kalimat yang mengalami perluasan dikenal adanya:
a.             Kalimat majemuk bertingkat dengan anak kalimat penggati subjek.
Misalnya:       Diakuinya  hal itu
                                P             S
                        Diakuinya bahwa ia yang memukul anak itu.
                                            anak kalimat pengganti subjek
b.             Kalimat majemuk bertingkat dengan anak kalimat pengganti predikat.
Misalnya:       Katanya begitu
                        Katanya bahwa ia tidak sengaja menjatuhkan gelas itu.
                                                anak kalimat pengganti predikat
c.              Kalimat majemuk bertingkat dengan anak kalimat pengganti objek.
Misalnya:       Mereka sudah mengetahui hal itu.
                                S             P                             O
                        Mereka sudah mengetahui bahwa saya yang mengambilnya.
                                                                                anak kalimat pengganti objek
d.             Kalimat majemuk bertingkat dengan anak kalimat pengganti keterangan.
Misalnya:       Ayah pulang malam hari
                            S        P             K
Ayah pulang ketika kami makan malam
                        anak kalimat pengganti keterangan
3)           Kalimat majemuk campuran
Kalimat majemuk campuran adalah kalimat majemuk hasil perluasan atau hasil gabungan beberapa kalimat tunggal yang sekurang-kurangnya terdiri atas tiga pola kalimat.
Misalnya: Ketika ia duduk minum-minum, datang seorang pemuda berpakaian bagus, dan menggunakan kendaraan roda empat.
                        Ketika ia duduk minum-minum
                                                                                pola atasan
                                                        datang seorang pemuda berpakaian bagus
                                                                                pola bawahan I
                                                        datang menggunakan kendaraan roda empat
                                                                                pola bawahan II
                                                                                
3. Kalimat Inti, Luas, dan Transformasi
a.       Kalimat inti
Kalimat inti adalah kalimat mayor yang hanya terdiri atas dua kata dan sekaligus menjadi inti kalimat.
Ciri-ciri kalimat inti:
1)       Hanya terdiri atas dua kata
2)       Kedua kata itu sekaligus menjadi inti kalimat
3)       Tata urutannya adalah subjek mendahului predikat
4)       Intonasinya adalah intonasi ”berita yang netral”. Artinya: tidak boleh menyebabkan perubahan atau pergeseran makna laksikalnya..
b.       Kalimat luas
Kalimat luas adalah kalimat inti yang sudah diperluas dengan kata-kata baru sehingga tidak hanya terdiri dari dua kata, tetapi lebih.
c.        Kalimat transformasi
Kalimat transformasi merupakan kalimat inti yang sudah mengalami perubahan atas keempat syarat di atas yang berarti mencakup juga kalimat luas. Namun, kalimat transformasi belum tentu kalimat luas.
Contoh kalimat  Inti, Luas, dan Transformasi
a.       Kalimat Inti. Contoh: Adik menangis.
b.       Kalimat Luas. Contoh: Radha, Arief, Shinta, Mamas, dan Mila sedang belajar dengan serius, sewaktu pelajaran matematika.
c.        Kalimat transformasi. Contoh:
i)         Dengan penambahan jumlah kata tanpa menambah jumlah inti, sekaligus juga adalah kalimat luas: Adik menangis tersedu-sedu kemarin pagi.
ii)       Dengan penambahan jumlah inti sekaligus juga adalah kalimat luas: Adik menangis dan merengek kepada ayah untuk dibelikan komputer.
iii)      Dengan perubahan kata urut kata. Contoh: Menangis adik.
iv)      Dengan perubahan intonasi. Contoh: Adik menangis?
4. Kalimat Mayor dan Minor
a.       Kalimat mayor
Kalimat mayor adalah kalimat yang sekurang-kurangnya mengandung dua unsur inti.
Contoh:          Amir mengambil buku itu.
Arif ada di laboratorium.
Kiki pergi ke Bandung.
Ibu segera pergi ke rumah sakit menengok paman, tetapi ayah menunggu kami di rumah Rati karena kami masih berada di sekolah.
b.       Kalimat Minor
Kalimat minor adalah kalimat yang hanya mengandung satu unsur inti atau unsur pusat. 
    Contoh:          Diam!
Sudah siap?
Pergi!
Yang baru!
Kalimat-kalimat di atas mengandung satu unsur inti atau unsur pusat.
Contoh: Amir mengambil.
Arif ada.
Kiki pergi
Ibu berangkat-ayah menunggu.
Karena terdapat dua inti, kalimat tersebut disebut kalimat mayor.
5. Kalimat Efektif
Kalimat efektif adalah kalimat berisikan gagasan pembicara atau penulis secara singka, jelas, dan tepat.
Jelas      : berarti mudah dipahami oleh pendengar atau pembaca.
Singkat  : hemat dalam pemakaian atau pemilihan kata-kata.
Tepat     : sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku.
Kalimat Tidak Efektif
Kalimat tidak efektif adalah kalimat yang tidak memiliki atau mempunyai sifat-sifat yang terdapat pada kalimat efektif.
Sebab-Sebab Ketidakefektifan Kalimat
1.       kontaminasi= merancukan 2 struktur benar  1 struktur salah
contoh:
- diperlebar, dilebarkan  diperlebarkan (salah)
- memperkuat, menguatkan  memperkuatkan (salah)
- sangat baik, baik sekali  sangat baik sekali (salah)
- saling memukul, pukul-memukul  saling pukul-memukul (salah)
- Di sekolah diadakan pentas seni. Sekolah mengadakan pentas seni  Sekolah mengadakan pentas seni (salah)
2.       pleonasme= berlebihan, tumpang tindih
contoh :
- para hadirin (hadirin sudah jamak, tidak perlu para)
- para bapak-bapak (bapak-bapak sudah jamak)
- banyak siswa-siswa (banyak siswa)
- saling pukul-memukul (pukul-memukul sudah bermakna ‘saling’)
- agar supaya (agar bersinonim dengan supaya)
- disebabkan karena (sebab bersinonim dengan karena)
3.       tidak memiliki subjek
contoh:
- Buah mangga mengandung vitamin C.(SPO) (benar)
- Di dalam buah mangga terkandung vitamin C. (KPS) (benar) ??
- Di dalam buah mangga mengandung vitamin C. (KPO) (salah)
4.       adanya kata depan yang tidak perlu
- Perkembangan  daripada teknologi informasi sangat pesat.
- Kepada siswa kelas I berkumpul di aula.
- Selain daripada bekerja, ia juga kuliah.
5.       salah nalar
- waktu dan tempat dipersilahkan. (Siapa yang dipersilahkan)
- Mobil Pak Dapit mau dijual. (Apakah bisa menolak?)
- Silakan maju ke depan. (maju selalu ke depan)
- Adik mengajak temannya naik ke atas. (naik selalu ke atas)
- Pak, saya minta izin ke belakang. (toilet tidak selalu berada di belakang)
- Saya absen dulu anak-anak. (absen: tidak masuk, seharusnya presensi)
- Bola gagal masuk gawang. (Ia gagal meraih prestasi) (kata gagal lebih untuk subjek bernyawa)
6.       kesalahan pembentukan  kata
- mengenyampingkan seharusnya mengesampingkan
- menyetop seharusnya menstop
- mensoal seharusnya menyoal
- ilmiawan seharusnya ilmuwan
- sejarawan seharusnya ahli sejarah
7.       pengaruh bahasa asing
- Rumah di mana ia tinggal … (the house where he lives …) (seharusnya tempat)
- Sebab-sebab daripada perselisihan … (cause of the quarrel) (kata daripada dihilangkan)
- Saya telah katakan … (I have told) (Ingat: pasif persona) (seharusnya telah saya katakan)
8.       pengaruh bahasa daerah
- … sudah pada hadir. (Jawa: wis padha teka) (seharusnya sudah hadir)
- … oleh saya. (Sunda: ku abdi) (seharusnya diganti dengan kalimat pasif persona)
- Jangan-jangan … (Jawa: ojo-ojo) (seharusnya mungkin)

FRASE KLAUSA

A.      Frase
Frase adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi. Misalnya: akan datang, kemarin pagi, yang sedang menulis.
Dari batasan di atas dapatlah dikemukakan bahwa frase mempunyai dua sifat, yaitu
a.       Frase merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih.
b.       Frase merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa, maksudnya frase itu selalu terdapat dalam satu fungsi unsur klausa yaitu: S, P, O, atau K.
Macam-macam frase:
A.       Frase endosentrik
Frase endosentrik adalah frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya. Frase endosentrik dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu:
1.       Frase endosentrik yang koordinatif, yaitu: frase yang terdiri dari unsur-unsur yang setara, ini dibuktikan oleh kemungkinan unsur-unsur itu dihubungkan dengan kata penghubung.
Misalnya:       kakek-nenek                         pembinaan dan pengembangan
                laki bini                                  belajar atau bekerja
2.       Frase endosentrik  yang atributif, yaitu frase yang terdiri dari unsur-unsur yang tidak setara. Karena itu, unsur-unsurnya tidak mungkin dihubungkan.
Misalnya:       perjalanan panjang
                hari libur
Perjalanan, hari merupakan unsur pusat, yaitu: unsur yang secara distribusional sama dengan seluruh frase dan secara semantik merupakan unsur terpenting, sedangkan unsur lainnya merupakan atributif.
3.       Frase endosentrik yang apositif: frase yang atributnya berupa aposisi/ keterangan tambahan.
Misalnya: Susi, anak Pak Saleh, sangat pandai.
Dalam frase Susi, anak Pak Saleh secara sematik unsur yang satu, dalam hal ini unsur anak Pak Saleh, sama dengan unsur lainnya, yaitu Susi. Karena, unsur anak Pak Saleh dapat menggantikan unsur Susi. Perhatikan jajaran berikut:
Susi, anak Pak Saleh, sangat pandai
Susi, …., sangat pandai.
…., anak Pak Saleh sangat pandai.
Unsur Susi merupakan unsur pusat, sedangkan unsur anak Pak Saleh merupakan aposisi (Ap).
B.       Frase Eksosentrik
Frase eksosentrik ialah frase yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya.
Misalnya:
Siswa kelas 1A sedang bergotong royong di dalam kelas.
Frase di dalam kelas tidak mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya. Ketidaksamaan itu dapat dilihat dari jajaran berikut:
                        Siswa kelas 1A sedang bergotong royong di ….
                        Siswa kelas 1A sedang bergotong royong …. kelas
C.      Frase Nominal, frase Verbal, frase Bilangan, frase Keterangan.
1.       Frase Nominal: frase yang memiliki distributif yang sama dengan kata nominal.
                Misalnya: baju baru, rumah sakit
2.       Frase Verbal: frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan golongan kata verbal.
                Misalnya: akan berlayar
3.       Frase Bilangan: frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata bilangan.
                Misalnya: dua butir telur, sepuluh keping
4.       Frase Keterangan: frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata keterangan.
                Misalnya: tadi pagi, besok sore
5.       Frase Depan: frase yang terdiri dari kata depan sebagai penanda, diikuti oleh kata atau frase sebagai                aksinnya.
                Misalnya: di halaman sekolah, dari desa
D.      Frase Ambigu
Frase ambigu artinya kegandaan makna yang menimbulkan keraguan atau mengaburkan maksud kalimat. Makna ganda seperti itu disebut ambigu.
Misalnya: Perusahaan pakaian milik perancang busana wanita terkenal, tempat mamaku bekerja, berbaik hati mau melunaskan semua tunggakan sekolahku.
Frase perancang busana wanita dapat menimbulkan pengertian ganda:
1.       Perancang busana yang berjenis kelamin wanita.
2.       Perancang yang menciptakan model busana untuk wanita.

B.            Klausa
Klausa adalah satuan gramatika yang terdiri dari subjek (S) dan predikat (P) baik disertai objek (O), dan keterangan (K), serta memilki potensi untuk menjadi kalimat. Misalnya: banyak orang mengatakan.
Unsur inti klausa ialah subjek (S) dan predikat (P).
Penggolongan klausa:
1.       Berdasarkan unsur intinya
2.       Berdasarkan ada tidaknya kata negatif yang secara gramatik menegatifkan predikat
3.       Berdasarkan kategori kata atau frase yang menduduki fungsi predikat