Selasa, 29 Oktober 2013

RUANG LINGKUP BAHASA

Secara umum, bidang ilmu bahasa dibedakan atas linguistik murni dan linguistik terapan. Bidang linguistik murni mencakup fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Sedangkan bidang linguistik terapan mencakup pengajaran bahasa, penerjemahan, leksikografi, dan lain-lain. Beberapa bidang tersebut akan kita eksplorasi melalui rangkaian seri tulisan ini.
Fonetik mengacu pada artikulasi bunyi bahasa. Para ahli fonetik telah berhasil menentukan cara artikulasi dari berbagai bunyi bahasa dan membuat abjad fonetik internasional sehingga memudahkan seseorang untuk mempelajari dan mengucapkan bunyi yang tidak ada dalam bahasa ibunya. Misalnya dalam bahasa Inggris ada perbedaan yang nyata antara bunyi tin dan thin, dan antara they dan day, sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak. Dengan mempelajari fonetik, orang Indonesia akan dapat mengucapkan kedua bunyi tersebut dengan tepat.
Abjad fonetik internasional, yang didukung oleh laboratorium fonetik, departemen linguistik, UCLA, penting dipelajari oleh semua pemimpin, khususnya pemimpin negara. Dengan kemampuan membaca abjad fonetik secara tepat, seseorang dapat memberikan pidato dalam ratusan bahasa. Misalnya, jika seorang pemimpin di Indonesia mengadakan kunjungan ke Cina, ia cukup meminta staf-nya untuk menerjemahkan pidatonya ke bahasa Cina dan menulisnya dengan abjad fonetik, sehingga ia dapat memberikan pidato dalam bahasa Cina dengan ucapan yang tepat. Salah seorang pemimpin yang telah memanfaatkan abjad fonetik internasional adalah Paus Yohanes Paulus II. Ke negara manapun beliau berkunjung, beliau selalu memberikan khotbah dengan menggunakan bahasa setempat. Apakah hal tersebut berarti bahwa beliau memahami semua bahasa di dunia? Belum tentu, namun cukup belajar fonetik saja untuk mampu mengucapkan bunyi ratusan bahasa dengan tepat

Fonologi mengacu pada sistem bunyi bahasa. Misalnya dalam bahasa Inggris, ada gugus konsonan yang secara alami sulit diucapkan oleh penutur asli bahasa Inggris karena tidak sesuai dengan sistem fonologis bahasa Inggris, namun gugus konsonan tersebut mungkin dapat dengan mudah diucapkan oleh penutur asli bahasa lain yang sistem fonologisnya terdapat gugus konsonan tersebut.
Contoh sederhana adalah pengucapan gugus ‘ng’ pada awal kata, hanya berterima dalam sistem fonologis bahasa Indonesia, namun tidak berterima dalam sistem fonologis bahasa Inggris. Kemaknawian utama dari pengetahuan akan sistem fonologi ini adalah dalam pemberian nama untuk suatu produk, khususnya yang akan dipasarkan di dunia internasional. Nama produk tersebut tentunya akan lebih baik jika disesuaikan dengan sistem fonologis bahasa Inggris, sebagai bahasa internasional.

Morfologi lebih banyak mengacu pada analisis unsur-unsur pembentuk kata. Sebagai perbandingan sederhana, seorang ahli farmasi (atau kimia?) perlu memahami zat apa yang dapat bercampur dengan suatu zat tertentu untuk menghasilkan obat flu yang efektif; sama halnya seorang ahli linguistik bahasa Inggris perlu memahami imbuhan apa yang dapat direkatkan dengan suatu kata tertentu untuk menghasilkan kata yang benar. Misalnya akhiran -­en dapat direkatkan dengan kata sifat dark untuk membentuk kata kerja darken, namun akhiran -­en tidak dapat direkatkan dengan kata sifat green untuk membentuk kata kerja.
Alasannya tentu hanya dapat dijelaskan oleh ahli bahasa, sedangkan pengguna bahasa boleh saja langsung menggunakan kata tersebut. Sama halnya, alasan ketentuan pencampuran zat-zat kimia hanya diketahui oleh ahli farmasi, sedangkan pengguna obat boleh saja langsung menggunakan obat flu tersebut, tanpa harus mengetahui proses pembuatannya.
Fonologi mengacu pada sistem bunyi bahasa. Misalnya dalam bahasa Inggris, ada gugus konsonan yang secara alami sulit diucapkan oleh penutur asli bahasa Inggris karena tidak sesuai dengan sistem fonologis bahasa Inggris, namun gugus konsonan tersebut mungkin dapat dengan mudah diucapkan oleh penutur asli bahasa lain yang sistem fonologisnya terdapat gugus konsonan tersebut.
Contoh sederhana adalah pengucapan gugus ‘ng’ pada awal kata, hanya berterima dalam sistem fonologis bahasa Indonesia, namun tidak berterima dalam sistem fonologis bahasa Inggris. Kemaknawian utama dari pengetahuan akan sistem fonologi ini adalah dalam pemberian nama untuk suatu produk, khususnya yang akan dipasarkan di dunia internasional. Nama produk tersebut tentunya akan lebih baik jika disesuaikan dengan sistem fonologis bahasa Inggris, sebagai bahasa internasional.

Analisis sintaksis mengacu pada analisis frasa dan kalimat. Salah satu kemaknawiannya adalah perannya dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Beberapa teori analisis sintaksis dapat menunjukkan apakah suatu kalimat atau frasa dalam suatu peraturan perundang-undangan bersifat ambigu (bermakna ganda) atau tidak. Jika bermakna ganda, tentunya perlu ada penyesuaian tertentu sehingga peraturan perundang-undangan tersebut tidak disalahartikan baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
Sementara, kajian semantik membahas mengenai makna bahasa. Analisis makna dalam hal ini mulai dari suku kata sampai kalimat. Analisis semantik mampu menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris, setiap kata yang memiliki suku kata ‘pl’ memiliki arti sesuatu yang datar sehingga tidak cocok untuk nama produk/benda yang cekung. Ahli semantik juga dapat membuktikan suku kata apa yang cenderung memiliki makna yang negatif, sehingga suku kata tersebut seharusnya tidak digunakan sebagai nama produk asuransi. Sama halnya dengan seorang dokter yang mengetahui antibiotik apa saja yang sesuai untuk seorang pasien dan mana yang tidak sesuai

Pengajaran Bahasa

Ahli bahasa adalah guru dan/atau pelatih bagi para guru bahasa. Ahli bahasa dapat menentukan secara ilmiah kata-kata apa saja yang perlu diajarkan bagi pelajar bahasa tingkat dasar. Para pelajar hanya langsung mempelajari kata-kata tersebut tanpa harus mengetahui bagaimana kata-kata tersebut disusun. Misalnya kata-kata dalam buku-buku Basic English. Para pelajar (dan guru bahasa Inggris dasar) tidak harus mengetahui bahwa yang dimaksud Basic adalah B(ritish), A(merican), S(cientific), I(nternational), C(ommercial), yang pada awalnya diolah pada tahun 1930an oleh ahli linguistik C. K. Ogden. Pada masa awal tersebut, Basic English terdiri atas 850 kata utama.
Selanjutnya, pada tahun 1953, Michael West menyusun General Service List yang berisikan dua kelompok kata utama (masing-masing terdiri atas 1000 kata) yang diperlukan oleh pelajar untuk dapat berbicara dalam bahasa Inggris. Daftar tersebut terus dikembangkan oleh berbagai universitas ternama yang memiliki jurusan linguistik. Pada tahun 1998, Coxhead dari Victoria University or Wellington, berhasil menyelesaikan suatu proyek kosakata akademik yang dilakukan di semua fakultas di universitas tersebut dan menghasilkan Academic Wordlist, yaitu daftar kata-kata yang wajib diketahui oleh mahasiswa dalam membaca buku teks berbahasa Inggris, menulis laporan dalam bahasa Inggris, dan tujuannya lainnya yang bersifat akademik.
Proses penelitian hingga menjadi materi pelajaran atau buku bahasa Inggris yang bermanfaat hanya diketahui oleh ahli bahasa yang terkait, sedangkan pelajar bahasa dapat langung mempelajari dan memperoleh manfaatnya. Sama halnya dalam ilmu kedokteran, proses penelitian hingga menjadi obat yang bermanfaat hanya diketahui oleh dokter, sedangkan pasien dapat langsung menggunakannya dan memperoleh manfaatnya.

Leksikografi adalah bidang ilmu bahasa yang mengkaji cara pembuatan kamus. Sebagian besar (atau bahkan semua) sarjana memiliki kamus, namun mereka belum tentu tahu bahwa penulisan kamus yang baik harus melalui berbagai proses.
Dua nama besar yang mengawali penyusunan kamus adalah Samuel Johnson (1709-1784) dan Noah Webster (1758-1843). Johnson, ahli bahasa dari Inggris, membuat Dictionary of the English Language pada tahun 1755, yang terdiri atas dua volume. Di Amerika, Webster pertama kali membuat kamus An American Dictionary of the English Language pada tahun 1828, yang juga terdiri atas dua volume. Selanjutnya, pada tahun 1884 diterbitkan Oxford English Dictionary yang terdiri atas 12 volume.
Saat ini, kamus umum yang cukup luas digunakan adalah Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Mengapa kamus Oxford? Beberapa orang mungkin secara sederhana akan menjawab karena kamus tersebut lengkap dan cukup mudah dimengerti. Tidak banyak yang tahu bahwa (setelah tahun 1995) kamus tersebut ditulis berdasarkan hasil analisis British National Corpus yang melibatkan cukup banyak ahli bahasa dan menghabiskan dana universitas dan dana negara yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, definisi yang diberikan dalam kamus tersebut seharusnya dapat mudah dipahami oleh pelajar karena semua entri dalam kamus tersebut hanya didefinisikan oleh sekelompok kosa kata inti. Bagaimana kosa-kata inti tersebut disusun? Tentu hanya ahli bahasa yang dapat menjelaskannya, sedangkan para sarjana dan pelajar dapat langsung saja menikmati dan menggunakan berbagai kamus Oxford yang ada di pasaran.
Ahli bahasa adalah guru dan/atau pelatih bagi para guru bahasa. Ahli bahasa dapat menentukan secara ilmiah kata-kata apa saja yang perlu diajarkan bagi pelajar bahasa tingkat dasar. Para pelajar hanya langsung mempelajari kata-kata tersebut tanpa harus mengetahui bagaimana kata-kata tersebut disusun. Misalnya kata-kata dalam buku-buku Basic English. Para pelajar (dan guru bahasa Inggris dasar) tidak harus mengetahui bahwa yang dimaksud Basic adalah B(ritish), A(merican), S(cientific), I(nternational), C(ommercial), yang pada awalnya diolah pada tahun 1930an oleh ahli linguistik C. K. Ogden. Pada masa awal tersebut, Basic English terdiri atas 850 kata utama.
Selanjutnya, pada tahun 1953, Michael West menyusun General Service List yang berisikan dua kelompok kata utama (masing-masing terdiri atas 1000 kata) yang diperlukan oleh pelajar untuk dapat berbicara dalam bahasa Inggris. Daftar tersebut terus dikembangkan oleh berbagai universitas ternama yang memiliki jurusan linguistik. Pada tahun 1998, Coxhead dari Victoria University or Wellington, berhasil menyelesaikan suatu proyek kosakata akademik yang dilakukan di semua fakultas di universitas tersebut dan menghasilkan Academic Wordlist, yaitu daftar kata-kata yang wajib diketahui oleh mahasiswa dalam membaca buku teks berbahasa Inggris, menulis laporan dalam bahasa Inggris, dan tujuannya lainnya yang bersifat akademik.
Proses penelitian hingga menjadi materi pelajaran atau buku bahasa Inggris yang bermanfaat hanya diketahui oleh ahli bahasa yang terkait, sedangkan pelajar bahasa dapat langung mempelajari dan memperoleh manfaatnya. Sama halnya dalam ilmu kedokteran, proses penelitian hingga menjadi obat yang bermanfaat hanya diketahui oleh dokter, sedangkan pasien dapat langsung menggunakannya dan memperoleh manfaatnya.

Rabu, 04 September 2013

TEORI ISER TENTANG RESEPSI SASTRA

Teori Resepsi Sastra Menurut Iser
Wolfgang Iser (1926-2007) adalah salah seorang pakar ilmu-ilmu sastra berke­bangsaan Jerman yang terke­nal dengan teori respons pembaca (reader-response theo­ry). Kritik Iser terhadap teori sastra adalah selama ini yang menjadi pusat perhatian sastra adalah maksud penulis, makna sosial, psikologi, kon­temporerisme, pengertian historis teks, atau cara teks dibangun, namun jarang terjadi kritik yang menyatakan bahwa teks hanya dapat memberikan arti ketika teks itu dibaca. Hemat Iser, inti pembacaan setiap karya sastra adalah interaksi antara strukturnya dan penerimanya. Itulah mengapa teori feno­menologi seni telah menarik perhatian bahwa kajian terha­dap karya sastra tidak hanya menyangkut teks yang sesung­guhnya, tetapi juga tindakan-tindakan yang terkait dalam menanggapi teks itu.
Teks dengan sendirinya hanya menawarkan “aspek skematis”, yaitu pokok perso­alan dari karya itu dapat dihasilkan, sementara produk­si yang sesungguhnya terjadi melalui tindakan konkretisasi. Oleh sebab itu, dapat dika­takan bahwa karya sastra memiliki dua buah kutub yang disebut kutub artistik dan kutub estetik. Kutub artistik adalah teks penulis, dan kutub estetik adalah realisasi yang disempurnakan oleh pembaca. Dari sudut pandang polaritas ini jelas bahwa karya itu sendiri tidak dapat diiden­tikkan dengan teks atau dengan konkretisasi, tetapi karya harus disituasikan di antara keduanya. Dalam karya sastra, pesan disampaikan melalui dua cara: pertama, pembaca menerima pesan, kedua, pembaca menyusun pesan itu. Dengan asumsi ini peneliiti harus mencari struktur yang memungkinkannya men­jelaskan kondisi dasar inte­raksi, karena hanya dengan cara itu, peneliti akan mampu mendapatkan pandangan ten­tang pengaruh potensial yang menyatu dalam karya itu.
Secara praktis setiap struk­tur yang dapat dilihat dalam fiksi memiliki dua sisi; yaitu sisi verbal dan sisi afektif. Sisi verbal membimbing reaksi dan mencegahnya dari reaksi yang sembarangan. Adapun sisi afektif adalah pemenuhan yang telah dibuat oleh struktur sebelumnya melalui bahasa teks. Penjelasan apa pun tentang interaksi antara kedu­anya harus menyatukan struk­tur pengaruh (teks) dan tang­ gapan (pembaca). Dalam hal ini, tugas seorang peneliti adalah menguraikan makna potensial dari suatu teks, bukan membatasinya dalam makna tunggal. Tegasnya, makna potensial suatu teks tidak pernah terpenuhi dalam proses pembacaan. Oleh karena itu, penting bagi peneliti memahami suatu makna seba­gai sesuatu yang terjadi karena hanya dengan cara itu, peneliti akan memahami faktor-faktor yang merupakan prakondisi komposisi dari suatu makna.
Adapun bentuk interpretasi tradisional, yang didasarkan pada pencarian makna tunggal oleh pembaca, cenderung meng­a­baikan karakter teks sebagai sesuatu kejadian dan penga­laman pembaca. Makna refe­ren­sial dalam konteks ini, pada awalnya, bersifat estetis karena ia memberikan dunia sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Oleh karena itu, sifat estetis suatu makna merupakan sesu­atu yang berubah sendiri men­jadi determinasi diskursif (wacana), atau menurut Kant, disebut sebagai am­phibolik: yaitu pada suatu ketika bersifat estetis, pada waktu yang lain bersifat diskursif.
Perubahan ini dikon­disikan oleh struktur makna yang bersifat fiksi. Dalam melakukan interpretasi digu­na­kan teknik pemaknaan tunggal yang me­ne­rangkan adanya per­bedaan, menga­baikan sepe­nuhnya fakta bahwa penga­laman estetis melahirkan pengalaman nonestetis. Di sini makna dipahami sebagai sebuah ekspresi, atau bahkan repre­sentasi dari nilai-nilai yang diakui secara kolektif. Pende­katan teknik pemaknaan tunggal ini dipastikan meru­pa­kan kompilasi makna, karena tujuannya sendiri adalah menyampaikan apa yang dipahami sebagai pema­knaan teks yang objektif dan dapat dijelaskan. Langkah-langkah di atas penting dilakukan karena teori yang berorientasi pada pembaca semenjak awal membuka kritik terhadap bentuk sub­jek­tivisme yang terkontrol. Hobsbaum secara tegas me­nun­jukkan adanya perbedaan dalam teori ini. Ia menga­takan bahwa teori-teori seni berbeda menurut derajat subjektivitas yang dikaitkan dengan tanggapan penerima, atau apa yang datang sebagai sesuatu yang sama, berbeda menurut tingkat objektivitas yang dikaitkan dengan karya seni.
Salah satu keberatan yang utama terhadap teori estetika resepsi adalah bahwa teori ini mengorbankan teks pada pemahaman yang sub­jektif, oleh sebab itu, menolak identitasnya sendiri. Semen­tara itu, keberatan yang lain adalah pada pengaruh teks sastra yang terdapat pada apa yang disebut Wimsatt dan Beardsley sebagai “affective fallacy” (kesalahan gagasan). Ini merupakan bentuk keka­cauan antara syair dan hasil­nya (apakah syair itu dan apa yang dilakukan syair itu). Sebagai konsekuensinya pen­dekatan baik dan buruk ha­nya berhu­bungan dengan sifat dari hasil. Oleh sebab itu, pertanyaan yang muncul ada­lah persoalan yang sesung­guhnya tidak bersandar pada fakta sehingga kita lebih cenderung menyamakan sebu­ah karya seni dengan hasil diban­ding kualitas dari hasil itu.
Fakta inilah yang menye­babkan banyaknya persoalan estetis dalam karya sastra. Dalam hal ini, kita dapat mengatakan bahwa teks mela­hirkan ‘performansi’ makna daripada perumusan mak­nanya sendiri. Kualitas este­tisnya terdapat dalam struktur ‘performansi’ yang jelas tidak dapat diidentikkan dengan produk akhir karena tanpa partisipasi pembaca individu, maka tidak akan terjadi performansi itu. Dengan de­mikian “affective fallacy” tidak dapat diaplikasikan pada teori estetika resepsi karena teori ini berkaitan dengan struktur ‘performansi’ yang mendahului pengaruhnya. Lebih jauh, teori estetika resepsi melakukan pemisahan analitis terhadap performansi dan hasil sebagai premis dasar, dan premis ini biasanya tidak diperhitungkan ketika para pembaca atau kritikus bertanya “Apakah arti teks itu?”
Banyak tipe pembaca yang muncul ketika kritik sastra membuat pernyataan tentang pengaruh karya sastra atau tanggapan terhadap karya sastra. Dalam hal ini, terda­pat dua kategori. Pertama, kita menemukan pembaca ‘riil’ (sejati), yang dikenal dengan reaksinya yang terdo­kumentasi. Kedua, kita mene­mukan pembaca ‘hipotetis’, dengannya semua kemung­kinan aktualisasi teks dapat diproyeksikan. Kategori yang terakhir ini seringkali dibagi menjadi apa yang disebut sebagai “pembaca ideal” dan “pembaca kontemporer”. Pem­baca riil terutama muncul dalam studi sejarah tangga­pan, misalnya, ketika perha­tian difokuskan pada cara dimana karya sastra diterima oleh publik. Adapun penilaian apa saja yang disampaikan pada karya itu juga akan mencerminkan kode kultural yang mengondisikan penilaian-penilaian tersebut. Dalam hal ini, setidak-tidaknya ada dua tipe pembaca ‘kontemporer’ dan pembaca riil.
Yang pertama dibangun dari pengetahuan sosial dan sejarah kala itu, dan kedua diperhitungkan dari peranan pembaca yang disandarkan pada teks. Sementara itu hampir berlawanan secara diametris, pembaca kontem­porer menentukan pembaca ideal yang dimaksudkan. Dalam hal ini, sulit untuk menunjukkan dari mana pem­ba­ca ideal berasal. Namun demikian terdapat kecen­derungan yang mengklaim bahwa dia cenderung muncul dari pemikiran ahli filologi atau kritik itu sendiri.
Seorang pembaca ideal harus memiliki kode yang identik dengan kode yang dimi­liki penulis; bagaima­napun juga, para penulis biasanya menyusun kembali kode-kode yang ada di dalam teksnya, dan pembaca ideal juga ikut memberikan tujuan yang mendasari proses itu. Selanjutnya, pembaca ideal tidak hanya memenuhi makna yang potensial dari teks secara independen dari situasi historis­nya sendiri, tetapi juga harus melakukannya dengan sungguh-sungguh. Pembaca ideal murni bersifat fiksi; dia tidak memiliki dasar dalam realitas, dan fakta inilah yang membuatnya men­jadi begitu berguna (Donny Syofyan, Dosen FIB Universitas Andalas)

SASTRA DAN KONSEP RESEPSI PEMBACA

SASTRA DAN KONSEP ESTETIKAT RESEPSI

1. Hakikat Konsep Estetika Resepsi
Resepsi sastra merupakan konsep yang berkembang dalamaliran dan percaturan dunia sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial (Sastriyani, 2001: 253). Jika dirunut lebih jauh kata resepsi itu sesungguhnya diasalkan dari bahasa Latin yaitu recipere yang diartikan sebagai menerima,  penerimaan, penyambutan pembaca (Rahmawati, 2008: 22). Dalam arti yang lebih luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemaknaan  terhadap karya sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu.
Menurut Rachmat Djoko Pradopo (2007:218) resepsi adalah ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Profesor Teeuw (dalam Pradopo 2007:207) menegaskan bahwa resepsi termasuk dalam orientasi pragmatik. Karya sastra sangat erat hubungannya dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan kepada kepentingan pembaca sebagai menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca juga yang menentukan makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang memberikan nilai.
Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru.
Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya.
Metode resepsi ini diteliti tanggapan-tanggapan setiap periode, yaitu tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh para pembacanya (Pradopo 2007:209). Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya.
Pradopo (2007:210-211) mengemukakan bahwa penelitian resepsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra (karya sastra) dalam masa satu periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap periode.
Menurut Ratna (2009:167-168), resepsi sinkronis merupakan penelitian resepsi sastra yang berhubungan dengan pembaca sezaman. Dalam hal ini, sekelompok pembaca dalam satu kurun waktu yang sama, memberikan tanggapan terhadap suatu karya sastra secara psikologis maupun sosiologis. Resepsi diakronis merupakan bentuk penelitian resepsi yang melibatkan pembaca sepanjang zaman. Penelitian resepsi diakronis ini membutuhkan data dokumenter yang sangat relevan dan memadai.
Pada penelitian resepsi sinkronis, umumnya terdapat norma-norma yang sama dalam memahami karya sastra. Tetapi dengan adanya perbedaan horizon harapan pada setiap pembaca, maka pembaca akan menanggapi sebuah karya sastra dengan cara yang berbeda-beda pula. Hal ini disebabkan karena latar belakang pendidikan, pengalaman, bahkan ideologi dari pembaca itu sendiri (Pradopo, 2007:211).
Penelitian resepsi sinkronis ini menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca yang berada dalam satu kurun waktu. Penelitian ini dapat menggunakan tanggapan pembaca yang berupa artikel, penelitian, ataupun dengan mengedarkan angket-angket penelitian pada pembaca.
Resepsi diakronis umumnya menggunakan pembaca ahli sebagai wakil dari pembaca pada tiap periode. Pada penelitian diakronis ini mempunyai kelebihan dalam menunjukkan nilai seni sebuah karya sastra, sepanjang waktu yang telah dialuinya (Pradopo, 2007:211).
Menurut Endraswara (2008:126) proses kerja penelitian resepsi sastra secara sinkronis atau penelitian secara eksperimental, minimal menempuh dua langkah sebagai berikut:
(1)  Setiap pembaca perorangan maupun kelompok yang telah ditentukan, disajikan sebuah karya sastra. Pembaca tersebut lalu diberi pertanyaan baik lisan maupun tertulis. Jawaban yang diperoleh dari pembaca tersebut kemudian dianalisis menurut bentuk pertanyaan yang diberikan. Jika menggunakan angket, data penelitian secara tertulis dapat dibulasikan. Sedangkan data hasil penelitian, jika menggukan metode wawancara, dapat dianalisis secara kualitatif.
(2)  Setelah memberikan pertanyaan kepada pembaca, kemudian pembaca tersebut diminta untuk menginterpretasikan karya sastra yang dibacanya. Hasil interpretasi pembaca ini dianalisis menggunakan metode kualitatif.
Dalam penelitian diakronis, untuk melihat penerimaan sejarah resepsi, digunakan strategi dokumenter melalui kepuasan media massa. Hasil kupasan tersebut yang nantinya akan dikaji oleh peneliti (Endraswara, 2008: 127).
Menurut Abdullah (via Jabrohim, 2001:119), penelitian resepsi secara sinkronis dan diakronis, dimasukan ke dalam kelompok penelitian resepsi menggunakan kritik teks sastra. Dalam penelitian resepsi sastra, Abdullah membagi tiga pendekatan, yaitu (1) penelitian resepsi sastra secara eksperimental, (2) penelitian resepsi lewat kritik sastra, dan (3) penelitian resepsi intertekstualitas. Secara umum, dari tiga pendekatan ini dapat dimasukkan ke dalam penelitian sinkronis dan diakronis, tidak hanya pada penelitian melalui kritik sastra saja.
Penelitian eksperimental dapat dimasukan ke dalam peneitian sinkronis, karena dalam penelitian eksperimental ini mengunakan subjek penelitian yang berada dalam satu kurun waktu. Sedangkan penelitian dengan pendekatan yang ketiga, yaitu melalui intertekstualitas, dapat dimasukkan ke dalam penelitian diakronis. Karena dapat diteliti hasil konkretisasi melalui teks-teks sastra yang muncul pada setiap periodenya. Tetapi penelitian ini dapat digunakan pada teks sastra yang memiliki hubungan intertekstual dengan teks sastra yang menjadi acuan penelitian.

2. Aplikasi Konsep Resepsi Sastra

Penelitian resepsi sastra pada penerapannya mengacu pada proses pengolahan tanggapan pembaca atas karya sastra yang dibacanya. Metode resepsi sastra mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak terbit selalu mendapatkan tanggapan dari pembacanya. Menurut Jauss (via Pradopo 2007: 209) apresiasi pembaca pertama akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan yang lebih lanjut dan lebih luas  dari generasi ke generasi.
Tugas resepsi adalah meneliti tanggapan pembaca yang berbentuk interpretasi, konkretisasi, maupun kritik atas karya sastra yang dibaca. Tanggapan-tanggapan pembaca atas karya sastra yang dibacanya, dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain latar belakang sosial budaya, tingkat pendidikan pembacam tingkat pengalaman, dan usia pembaca.
Dalam makalah ini, penulis memilah metode penelitian sastra menjadi dua metode, yaitu metode resepsi sinkronis dan metode resepsi diakronis. Kedua metode ini dibedakan menurut kemunculan tanggapan dari pembaca atas karya sastra yang dibacanya.

2.1 Aplikasi Metode Resepsi Sinkronis
Penelitian resepsi dengan metode sinkronis adalah penelitian resepsi sastra yang menggunakan tanggapan pembaca sezaman, artinya pembaca yang digunakan sebagai responden berada dalam satu periode waktu. Penelitian resepsi dengan metode ini dapat dilakukan dengan cara menganalisis tanggapan pembaca sezaman dengan menggunakan teknik wawancara maupun teknik kuasioner. Oleh karena itu, penelitian resepsi sinkronis ini dapat digolongkan menjadi penelitian eksperimental.
Penelitian resepsi sinkronis ini jarang dilakukan oleh peneliti karena sukar dalam pelaksanaan penelitiannya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Abdullah (dalam Jabrohim 2001:119) bahwa penelitian yang tergolong eksperimental dapat mengalami beberapa kendala saat pelaksaannya di lapangan. Penelitian eksperimental dinilai sangat rumit, khususnya dalam pemilihan responden, pemilihan teks sastra, dan penentuan teori.
Penelitian resepsi sastra menggunakan metode sinkronis ini pernah dilakukan oleh Dini Eka Rahmawati, mahasiswa program studi Sastra Jawa Unnes, yang meneliti resepsi masyarakat atas cerita rakyat Bledhug Kuwu dalam skripsinya yang berjudul Resepsi Cerita Rakyat Bledhug Kuwu (2008).
Dalam penelitiannya, Rahmawati menggunakan pendekatan reseptif dengan metode penelitian sinkronis. Artinya penelitian resepsi sastra yang dilakukan atas cerita Bledhug Kuwu dilakukan pada tanggapan pembaca yang berada pada satu zaman. Penelitian yang dilakukan Rahmawati menganalisis hasil konkretisasi masyarakat Bledhug Kuwu di Kabupaten Grobogan. Hasil penceritaan ulang dianalisis struktur cerita dengan perbandingan atas sebuah teks cerita yang diterbitkan Dinas Pariwisata Kabupaten Grobogan. Pembaca yang menjadi responden dalam penelitian tersebut merupakan masyarakat Bledhug Kuwu yang berada dalam satu periode. Sehingga dapat dikatakan penelitian Rahmawati termasuk penelitian resepsi sinkronis.
Masih jarang penelitian resepsi sinkronis yang dilakukan oleh ilmuwan sastra maupun para mahasiswa sastra. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan penelitian resepsi sinkronis.

2.2 Aplikasi Metode Resepsi Diakronis
Penelitian resepsi sastra dengan metode diakronis merupakan penelitian resepsi sastra yang dilakukan terhadap tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa periode. Tetapi periode waktu yang dimaksud masih berada dalam satu rentang waktu.
Penelitian resepsi diakronis ini dilakukan atas tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa periode yang berupa kritik sastra atas karya sastra yang dibacanya, maupun dari teks-teks yang muncul setelah karya sastra yang dimaksud. Umumnya penelitian resepsi diakronis dilakukan atas tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang termuat dalam media massa maupun dalam jurnal ilmiah.
Penelitian resepsi diakronis yang melihat bentuk fisik teks yang muncul sesudahnya dapat dilakukan melalui hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan. Intertekstual merupakan fenomena resepsi pengarang dengan melibatkan teks yang pernah dibacanya dalam karya sastranya. Hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan ini dapat dilakukan atas teks sastra lama maupun sastra modern.(Jabrohim, 2001:162-163).
Metode diakronis yang banyak dilakukan adalah penelitian tanggapan yang berupa kritik sastra. Penelitian resepsi diakronis pernah dilakukan oleh beberapa ahli sastra, misalnya Yusro Edy Nugroho dalam artikel berjudul Serat Wedhatama: Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respon Pembaca (2001), Agus Nuryatin dengan artikel Resepsi Estetis Pembaca Atas Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam (1998), Siti Hariti Sastriyani dengan artikel berjudul Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia (2001), dan Muhammad Walidin dengan artikel berjudul Seksualitas dalam Novel Indonesia Kontemporer (2007).
Nugroho (2001) dalam artikel berjudul Serat Wedhatama Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respon Pembaca menggunakan karya sastra turunan sebagai respondennya. Penelitian ini menggunakan metode diakronis karena karya sastra yang digunakan muncul pada kurun waktu yang berbeda. Karya sastra turunan yang digunakan adalah Wedhatama Winardi (1941), Wedhatama Kawedar (1963), dan Wedhatama Jinarwa (1970).
Dalam penelitiannya, Nugroho dapat menunjukkan bagaimana seorang pembaca dapat memiliki kebebasan dalam menafsirkan makna dari Serat Wedhatama sesuai dengan apa yang dikuasai dan diharapkan atas keberadaan serat tersebut. Pencipta teks turunan ini telah meresepsi Serat Wedhatama dengan tujuan untuk memertahankan serat ini agar tetap dikenal pada zaman selanjutnya.
Penelitian lain yang menggunakan metode resepsi diakronis adalah penelitian yang dilakukan Nuryatin (1998) atas tanggapan pembaca terhadap cerita Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam. Dalam penelitian yang berjudul Resepsi Estetis Pembaca Atas Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam ini, Nuryatin menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra yang berupa artikel maupun resensi yang termuat di media massa. Pembaca yang digunakan sebagai responden dalam penelitian ini berada dalam rentang waktu antara tahun 1970 hingga 1980. Sehingga penelitian ini dapat dimasukkan ke dalam penelitian diakronis.
Dalam penelitian ini, Nuryatin dapat menunjukkan kelompok-kelompok tanggapan pembaca atas cerita Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam, yaitu tanggapan positif dan negatif. Pembaca yang digunakan dalam penelitian Nuryatin ini adalah pembaca ideal. Pembaca ini melakukan pembacaan terhada karya sastra secara mendalam, karena ada tujuan lain dari proses pembacaan itu.
Penelitian resepsi diakronis juga pernah dilakukan oleh Sastriyani dalam artikel yang berjudul berjudul Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia. Dalam penelitian resepsi sastra ini, Sastriyani menggunakan pembaca ideal sebagaimana yang dilakukan oleh Nuryatin. Proses penelitian terhadap tanggapan pembaca dilakukan atas kritik yang diberikan oleh pembaca ideal. Dalam penelitiannya Sastriyani juga membandingkan tanggapan antara Madame Bovary dengan Belenggu. Dari proses penelitian diakronis ini, Sastriyani dapat menunjukkan pengaruh-pengaruh munculnya karya Madame Bovary di Indonesia.
Penelitian terakhir yang menggunakan penelitian resepsi dengan metode diakronis adalah Walidin yang menganalisis tanggapan pembaca terhadap seksualitas dalam novel Indonesia kontemporer, yaitu novel Saman karya Ayu Utami yang mengungkap heteroseksualitas secara vulgar, Supernova karya Dewi Lestari yang memperkenalkan homoseksualitas kaum gay, dan Garis Tepi Seorang Lesbian karya Herliniatin yang mengangkat cinta sejenis kaum lesbian. Walidin menggunakan hasil kritik beberapa pembaca terhadap salah satu atau ketiga novel tersebut. Hasil kritik ini diperoleh dari hasil wawancara maupun dari sumber lain, seperti internet atau koran yang berbentuk ulasan.
Hasil yang diperoleh Walidin dari penelitian dalam artikel Seksualitas dalam Novel Indonesia Kontemporer ini adalah bentuk-bentuk tanggapan atas ketiga novel yang dikaji, baik tanggapan posif maupun tanggapan negatif. Dari penelitian ini juga dapat diketahui bahwa resepsi pembaca atas karya sastra bergantung pada periode pembaca itu berada. Perbedaan periode memengaruhi tanggapan yang diberikan pembaca terhadap suatu karya sastra.

2.3 Kelebihan dan Kekurangan Metode Penelitian Resepsi Sastra
Setiap metode yang digunakan dalam penelitian mempunyai kelebihan dan Kekurangan. Hal yang sama juga berlaku  dalamkaitananya dengan penelitian perihal tingkat resepsi untuk sebuah karya  sastra. Apapun metode yang digunakan baik sinkronis maupun diakronis, mempunyai kelebihan dan Kekurangan.
Sebagian ahli berpandangan bahwa penelitian sinkronis mengandung beberapa Kekurangan jika ditilik berdasarkan proses kerjanya, karena termasuk penelitian sinkronis merupakan penelitian eksperimental. Menurut Abdullah (lihat Jabrohim 2001: 119) penelitian yang tergolong eksperimental terbuka pada kemungkinan akan berhadapan dengan beberapa kendala saat pelaksaannya di lapangan. Penelitian eksperimental dinilai sangat rumit, khususnya dalam pemilihan responden, pemilihan teks sastra, dan penentuan teori. Selain itu, penelitian sinkronis hanya dapat digunakan untuk mengetahui tanggapan pemabaca pada satu kurun waktu. Sehingga apabila diterapkan untuk karya sastra yang terbit beberapa tahun yang lalu, akan sulit membedakan antara tanggapan yang dulu dan masa sekarang, karena terbentur masalah waktu.
Kelebihan dari penelitian resepsi sinkronis atau eksperimental ini antara lain (1) reponden dapat ditentukan tanpa harus mencari artikel kritik sastranya terlebih dahulu; (2) penelitian resepsi sinkronis dapat dilakukan secara langsung tanpa menunggu kemunculan kritik atau ulasan mengenai karya sastra; dan (3) dapat dilakukan pada karya sastra populer.
Pada penelitian resepsi diakronis, peneliti dapat melakukan penelitian atas hasil-hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan, yang berupa karya sastra turunan. Biasanya penelitian dengan menggunakan karya sastra turunan dapat berupa karya sastra turunan dari karya sastra lama, karya sastra tradisional, maupun karya sastra dunia. Dalam metode diakronis ini, peneliti juga dapat menerapkan teori lain, seperti teori intertekstualitas, teori sastra bandingan, teori filologi, dan beberapa teori lain yang mendukung penelitian resepsi diakronis. Hal ini umumnya diterapkan dalam penelitian karya sastra turunan. Kelebihan lain dari penelitian resepsi diakronis adalah kemudahan peneliti dalam mencari data, yaitu tanggapan pembaca ideal terhadap suatu karya sastra. Sehingga peneliti tidak harus bersusah payah mencari data dengan teknik wawancara maupun kuasioner pada responden.
Kekurangan penelitian resepsi diakronis akan dirasakan oleh para peneliti pemula. Umumnya peneliti pemula akan mengalami kesulitan dalam menentukan karya sastra yang dijadikan objek penelitian. Karena umumnya karya sastra yang dikenal banyak orang telah diteliti resepsinya oleh peneliti-peneliti terdahulu, misalnya pada penelitian tanggapan atas Belenggu, Madame Bovary, Sri Sumarah dan Bawuk.
Selain itu, dalam penelitian terhadap karya sastra turunan, khususnya hasil intertekstual, peneliti akan kesulitan dalam menemukan teks asal dari karya sastra turunan tersebut. Dalam bidang puisi, peneliti yang menganalisis resepsi atas puisi Gotoloco karya Goenawan Mohamad akan merasa kesulitan dalam mencari teks Gatoloco yang asli. Hal ini mungkin juga dirasakan oleh peneliti teks puisi Asmaradana karya Goenawan Mohamad dan Subagiyo Sastrowardoyo, bahkan untuk beberapa puisi modern yang mengadopsi cerita-cerita pewayangan.

Sumber Rujukan
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.
Jabrohim. 2001.  Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahmawati, Dini Eka. 2008. Resepsi Cerita Rakyat Bledhug Kuwu. Skripsi. Semarang: Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Sastriyani, Siti Hariti. 2001. Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia. Dalam Jurnal Humaniora, Volume XIII, No. 3/2001, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Senin, 02 September 2013

WACANA HOMOR DAN PRAGMATIK

HUMOR DAN PRINSIP KOMUNIKASI SUATU ANALISIS PRAGMATIK



1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Tertawa itu sehat adalah adagium klasik  yang kebenarannya tak dapat diragukan. Tertawa sebagai ekspresi kegembiraan menjadi milik manusia dan ada seusia manusia. Media yang memungkinkan manusia tertawa adalah Humor. Humor itu memiliki daya jelajah yang luas dan mampu menembus pelbagai benteng ideologi, politik, kekuasaan, jabatan dan profesi. Bila olah raga dilakukan oleh orang yang sehat dan masih bertenaga maka humor menjadi obat karena dapat dinikmati oleh siapa saja dalam keadaan apa saja. Bagi orang kreatif segala kesempatan dan situasi dapat dijadikan tempat dan kesempatan mengkreasi Humor.
Wacana humor yang membangkitkan reaksi tertawa baik untuk penciptanya dan terlebih untuk yang menikmatinya pada hakikatnya menjadi alat komunikasi. Perannya sebagai sarana komunikasi mengharuskan humor itu mematuhi kaidah komunikasi pada umumnya. Kepatuhan pada kaidah-kaidah komunikasi suatu wacana humor, sama artinya mengangkat wacana humor pada salah satu tataran linguistik yang secara spesifik mengkaji penggunaan wacana tersebut dalam konteks komunikasi. Kajian serupa itu terkait dengan masalah  pragmatik.
Memperhatikan jangkauan humor dengan daya pengaruh yang kian luas dalam konteks komunikasi mendorong penulis untuk menganalisis beberapa wacana Humor dengan sudut tinjauan pragmatik yang dirumuskan dalam judul ‘HUMOR DAN PRINSIP KOMUNIKASI SUATU ANALISIS PRAGMATIK’
1.2  Tujuan Penulisan
Tulisan ini disusun dengan tujuan melihat  wacana humor dalam perannya sebagai media komunikasi dengan menggunakan jasa kajian linguitik khususnya pragmatik. Karena itu, tulisan ini terutama untuk kepentingan kajian pragmatik yang secara teoritis diberikan dalam mata kuliah pragmatik. Hal pokok yang  dianalisis adalah bagaimana wacana Humor memenuhi tuntutan suatu proses komunikasi yang wajar dalam konteks pragmatiknya.
1.3 Langkah Metodologis
Tulisan ini dibuat dengan mengikuti beberapa langkah antara lain mencari berbagai literatur yang memuat wacana humor dengan aneka ragamnya, membaca dan menentukan wacana humor yang dinilai relevan dengan kajian pragmatik, menganalisis pelbagai wacana humor itu dengan patokan kajian pragmatik khususnya yang berkaitan dengan prinsip komunikasi; prinsip kerja sama yang baik dan wajar.

2. HUMOR DAN PRINSIP KOMUNIKASI DALAM PRAGMATIK

2.1  Penyimpangan dan Kreativitas
Bahasa adalah media yang dipakai dalam proses komunikasi antara manusia ketika hendak mengkomunikasikan pesan tertentu. Bahasa umumnya mengemban fungsi komunikatif, kognitif,  dan emotif (Kaelan, 1998:290).  Proses komunikasi itu dalam terminologi pragmatik disebut sebagai proses interaksi antara penutur dan mitratutur. Antara pembicara dengan lawan bicara ketika terlibat dalam tindakan kebahasaan. Kajian tentang bahasa dalam pemakaian seperti inilah yang menjadi hakikat kajian pragmatik (Subagyo, 1999:8).
Dalam penggunaannya bahasa yang diabdikan pada kepentingan manusia dapat ‘direkayasa’ secara khas untuk menciptakan efek tertentu. Efek yang lahir dari wacana yang ‘direkayasa’ itu telah menarik perhatian para pragmatisi dan dijadikan kajian dalam linguistik khususnya pragmatik. Pemakaian bahasa yang mempertimbangkan efek khusus telah memungkinkan munculnya pelbagai bentuk wacana kreatif. Wacana humor merupakan salah satu bentuk penggunaan bahasa yang kreatif..
Gagasan Austin  dan Searle telah menjadi referensi pelbagai pakar linguistik ketika menguraikan pragmatik. Tulisan Asim Gunarwan (1994:81-93);“Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: kajian Sosiopragmatik” ; uraian Syukur Ibrahim (1993:11-54); dan pembahasan (Wijana, 1996: 17-22) tentang masalah tindak tutur semuanya menyinggung tiga hal yaitu masalah Tindak Lokusi, Tindak Ilokusi, dan Tindak Perlokusi. Dari ketiga hal ini, yang dinilai relevan untuk tulisan ini adalah masalah perlokusi dalam wacana humor.   
Humor sebagai wacana yang menggunakan bahasa dalam mengkomukasikan pesan tertentu umumnya tercipta ketika pemakai bahasa tersebut melakukan ‘penyimpangan’. Penyimpangan yang dimaksudkan di sini bukan terutama terhadap kaidah linguistik melainkan penyimpangan penggunaan bahasa dipandang secara sosiolinguistik. Penyimpangan penggunaan bahasa  dalam proses komunikasi yang nyata. Kaidah sosiologis ‘tidak dipatuhi’ sebagai sarana untuk menghasilkan wacana humor. Dari sini muncul apa yang disebut sebagai pelanggaran terhadap parameter jarak sosial, status sosial, pringkat tindak tutur (Subagyo, 1999:23-27).
Penyimpangan yang paling potensial untuk mengkreasi humor berkaitan dengan prinsip kerjasama dalam berkomunikasi yang mencakup maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan. Penyimpangan lainnya terkait pada kesopnanan yang dirinci menjadi maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian (Wijana: 1996:45-61). Kesepuluh jenis maksim ini tidak seluruhnya terwakilkan dalam literatur humor yang dipakai dalam tulisan ini. Pengamatan penulis terhadap sumber atau literatur humor yang digunakan dalam menganalisis wacana humor dijumpai ada lima maksim yang paling banyak dilanggar dalam mengkreasi humor yaitu maksim relevansi, pelaksanaan, kuantitas, kualitas, dan kecocokan. Karena itu kelima maksim tersebut akan dianlisis secara khusus. 
2.2 Analisis  Humor Berdasarkan Prinsip Kerja sama
Maksim kecocokan yang diuraikan Wijana sebagai penjabaran Prinsip Kesopanan bila dilihat hubungannya dengan maksim relevansi maka sebenarnya maksim itu lebih tepat dijadikan bagian dari prinsip kerja sama. Alasannya karena prinsip kerja sama mensyaratkan adanya kecocokan antara para pelibat komunikasi. Pelanggaran maksim kecocokan yang menghasilkan wacana humor pada dasarnya bukan masalah sopan santun tetapi lebih sebagai sarana yang selalu dikaitkan dengan masalah kerja sama. Jika ada kecocokan berarti terjadi kerja sama dan proses komunikasi berjalan wajar. Sebaliknya jika tidak cocok atau sengaja dilanggar demi efek humoris. Kecocokan juga erat kaitanya dengan maksim kualitas.   
1.    Maksim Relevansi
(1a)
Budi

Didi:
Kita harus mendukung pemerintah dengan mencintai produksi dalam negeri
Wah, sayang sekali saya sudah telanjur menikah dengan orang asing
Dialog ini melanggar maksim relevansi. Pernyataan Didi tidak ada hubungannya dengan pernyataan yang disampaikan Budi. Kalau Didi mematuhi kaidah revansi maka Didi seharusnya bukan menyampaikan bahwa ia telah menikah dengan orang asing melainkan harus diganti dengan barang atau produk buatan asing. Di sini tampak penyimpangan karena Didi menganggap bahwa pasangannya disejajarkan dengan barang produksi luar negeri. Jika Didi mau supaya pernyataannya relevan dengan yang dimaksudkan Budi maka bentuk dialog (1b) berikut seharusnya dipilih.
(1b)

Budi

Didi:
Kita harus mendukung pemerintah dengan mencintai produksi dalam negeri
Wah, sayang sekali saya sudah telanjur membeli barang buatan luar negeri
Contoh lain yang melanggar maksim relevansi ini seperti pada wacana (1c) dan (1d) berikut ini:
(1c)
Ayah
Anak
Belajarlah dengan tekun dan raihlah cita-cita yang setinggi langit
Tak bisa Pak, karena kalau naik tangga saja dengkul saya gemetar 
(1d)
Guru

Hadi

Hasan, janganlah kamu menjadi anak yang panjang tangan. Itu tidak baik.
Tetapi, itu artinya Bapak menghalangi cita-cita saya untuk menjadi petinju. Saya mau tangan saya pajang sehingga dapat menjangkau lawan dengan mudah mengalahkannya.
2. Maksim Pelaksanaan
(2)
Sony
Bagaimana caranya saya harus mengukur tinggi sebuah tangga?

Ayah
Sony
Itu mudah saja. Letakanlah tangga itu di tanah lalu mengukurnya
Tetapi saya mau mengukur tinggi dan bukan panjang tangga.
Dialog (2) di atas menjadi wacana humor karena cara yang dikatakan ayah untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan Sony tidak  sesuai dengan cara yang diharapkan Sony. Sony bermaksud mengukur tinggi tetapi ayah justru melihat bahwa tinggi tangga sama dengan panjang tangga. Cara yang dianjurkan ayah bisa membawa kesan humor lebih kuat bila pembaca membayangkan misalnya bagaimana mengukur tinggi dinding rumah atau tingginya gunung. Apakah jawaban ayah masih dinilai tepat. Dalam dialog (2) ini tampak pula pelanggaran terhadap maksim relevansi.
3.   Maksim Kuantitas
(3a)
X
Apakah perbedaan antara nasib buruk dan bencana?

Y
Besar bedanya. Misalkan seekor kambing meniti jembatan, terpeleset, lalu jatuh ke sungai: itu nasib buruk. Tetapi jika sebuah pesawat terbang yang membawa semua pemimpin Soviet jatuh, dan penumpang habis mati: itu bencana
(3b)
Guru


Ali

Guru
Di Eropa ada empat musim yaitu musim: semi, gugur, dingin, panas. Kalau di negara kita ada berapa musim?, tanya guru kepada Ali.
Ada banyak, Pak. Musim rambutan, salak, mangga, layangan, paceklik, kebakaran.
Cukup, cukup! Sekarang musim disrap. Ayo, kau berdiri di depan kelas!
Dialog pada wacana (3a) di atas merupakan contoh humor yang tercipta ketika Y menyusun pernyataan berupa jawaban terhadap pertanyaan X. Pihak X memberikan jawaban melebihi apa yang dibutuhkan Y bahkan tampak pula jawaban itu tidak sesuai dengan  yang ditanyakan X. Pihak X mengharapkan jawaban yang singkat tetapi Y malah memberikan jawaban dengan uraian panjang. Di sini terdapat pula pelanggaran terhadap maksim relevansi dan maksim kualitas. Dan untuk memahaminya bandingkan dengan dialog dalam (3c) di bawah ini yang lebih mencerminkan kepatuhan pada maksim kuantitas, kualitas, dan relevansi.
(3c)
X
Apakah perbedaan antara orang yang miskin dan orang yang kaya?

Y
Bedanya yang miskin tak memiliki apa-apa sedangkan yang kaya apa-apa dimiliki.
Wacana (3d) sampai (3f) berikut juga mencerminkan pelanggaran terhadap maksim  kuantitas.
(3d)
Siswa
Pak, semalan saya bermimpi dipagut ular, apa artinya, Pak?

Guru
Artinya semalam kamu memang pasti tidur. Kalau kamu tidak tidur, tidak mungkin kamu bermimpi seperti itu.
(3e)
Bapak

Denny
Denny, menurut ilmu yang kamu pelajari sebagai calon perawat , apa yang kamu lakukan kalau seorang temanmu dipagut ular?
Ada dua hal yang harus saya lakukan. Pertama saya berdoa mengucap syukur karena ular tidak memagut saya dan yang kedua saya harus bertanya kepada guru saya bagaimana mengatasinya.
(3f)
Peneliti

Amir
Pak Amir, apakah benar orang di desa ini sering meninggal?
Oh, itu jelas tidak benar. Bapak merasa seperti di tempat tinggalmu. Orang hanya meninggal sekali, tidak sering.
4. Maksim Kualitas
(4a)
X
Siapa nama ayahmu?

Y
X
Y
X
Y
Ayah saya adalah Unisoviet
Anak Pintar. Siapa nama ibumu?
Ibu saya adalah Partai Komunis
Bukan main! Apa keinginanmu setelah dewasa?
Menjadi anak yatim piatu
Wacana (4a) di atas menjadi wacana humor karena terjadi pelanggaran terhadap maksim kualitas dan relevansi. Jawaban Y memenuhi tuntutan maksim kuantitas karena ada kesan bahwa Y memberikan jawaban singkat tetapi tidak sesuai harapan si X, sama seperti yang terjadi pada wacana (1a). dalam dialog di atas X mengharapkan Y menyebutkan nama ayah dan ibunya serta jenis profesinya kelak. Namun, jawaban Y tidak memenuhi harapan itu karena ia malah menyebut nama negara dan ideologi (negara yang disebutnya), dan tentang profesi masa depannya dijawabnya dengan status sebagai anak yatim piatu. Dialog (4b) sampai (4h), di bawah ini juga mencerminkan pelanggaran maksim kualitas.
(4b)
Guru
Tono
Guru
Tono
Guru
Tono
Apa artinya lampu merah?
Tidak boleh jalan
Lampu kuning?
Siap-siap
Lampu merah
Ambulance
(4c)
Pelatih

Atlet
Belakangan permainanmu semakin jelek. Di mana kehebatanmu selama ini?
Saya duga hilang dalam perjalanan ketika saya tersesat.
(4d)
Remi

Sinta
Sudah dua bulan kita berkenalan, tetapi engkau belum mau membuka hatimu untukku. Pintu hatimu tetap saja tertutup.
Uang kuncinya dulu, baru nanti kubuka pintu hati ini.
(4e)
X
Berapa dua kali

Y
Terserah jawaban Partai
(4f)
Guru
Kamu tahu apa akibatnya kalau kamu membuang air sembarangan?


Murid
Guru
Murid
Tahu, Pak.
Apa akibatnya, coba?!
Bisa mengakibatkan banjir, Pak!
(4g)
Amat

Polisi
Amat
Lapor, Pak… saya melaporkan bahwa saya habis ditodong oleh sopir taksi gelap dalam perjalanan saya dari bandara.
Seperti apa ciri-ciri wajah sopir itu?
Namanya saja taksi gelap, Pak…Saya tak dapat melihat wajahnya.
(4h)
Barto

Heny

Barto
Brengsek betul bus kota itu. Dari terminal sampai kampus bus itu full musik. Aku menjadi amat kesal.
Loh, kan enak kalau full musik.  Kiat menikmati perjalanan dengan lebih santai dan menyenangkan.
Bagaimana meneynangkan? Setiap ganti halte, pasti ganti pengamen.
5. Maksim Kecocokan
(5a)
P
Aku merasa sulit menjalin hubungan dengan pemerintahan Soviet?


Q
Bagi saya sama sekali tidak sulit karena sama seperti dengan istri: sebagian karena kegemaran, sebagian karena takut disertai doa semoga segera mendapatkan yang lain.

 (5b)
Guru

Somat
“Mau jadi apa kamu kelak kalau hanya bisa menghitung satu sampai sepuluh?”, tanya guru agak marah kepada siswanya.
“Jadi wasit tinju, Bu!”  jawab Somat penuh semangat.
Apa yang dirasakan P dalam dialog (5a) di atas berbeda dengan apa yang dirasakan Q perihal hubungan dengan pemerintahan Soviet. Terdapat ketidakcocokan dan Q perupaya menonjolkan ketidakcocokan itu dengan maksud menjadikan dialog itu sebagai sebuah wacana humor. Di sini tampak adanya pelanggaran terhadap maksim kecocokan karena Q melihatnya secara lebih mudah dengan perbandingan yang memperkuat efek humornya.
Dailog antara Ibu Yati dan Ibu Tati (5c) berikut mencerminkan kepatuhan pada maksim kecocokan itu.
(5c)
Yati
Saya berharap anak-anak saya kelak menjadi orang yang baik

Yani
hal yang sama selalu saya katakan kepada anak-anak saya


3. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan analisis terhadap beberapa data wacana humor maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.    Bahasa sebagai sarana komunikasi berpotensi kreatif ketika pemakainya menggunakannya secara kreatif dalam pelbagai bentuk wacana komunikasi.
2.    Wacana humor adalah salah satu bentuk komunikasi yang diciptakan lewat pelbagai bentuk pelanggaran pelbagai maksim yang dituangkan dalam prinsip kerjasama melalui bahasa.
3.    Wacana humor pada umumnya mudah diciptakan dengan pelanggaran terhadap maksim relevansi, kantitas, dan kualitas.
4.    Maksim yang dilanggar dalam wacana Humor tidak terbatas pada satu pelanggaran, tetapi bisa mengandung lebih dari satu jenis pelanggaran terhadap maksim yang ada.
Demikianlah sekilas uraian dan analisis tentang wacana Humor dalam kaitannya dengan perannya sebagai salah satu wacana komunikasi antara manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Dolgopolova, Z. 1987. Mati Ketawa Cara Rusia. Jakarta: Grafitipers.
Gunarwan, Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di kalangan Dwibahasawan  Indonesia-Jawa di Jakarta Kajian Sosiopragmatik” dalam Bambang Kaswanti Purwo (Ed.) Pelba 7. Yogyakarta: Kanisius.
Ibrahim, Abd.Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional.  
Inggriani, S & Bambang Sheno. (tt.). Pekan Ketawa. Jakarta: Sinar Matahari.
-----------. (tt.). Safari Humor. Jakarta: Sinar Matahari.
Kaelan. 1998. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Paradigma.
Martono. (tt.). Goyonan Orang Kaya. Jakarta: Sinar Matahari
-----------. (tt.) Guyonan Nara Pidana. Jakarta: Sinar Matahari
Purnaraman, S. (tt.). Humor Atlet Dunia. Jakarta: Sinar Matahari.
Rully, Nh. (tt.). Goyonan Direktur. Jakarta: Sinar Matahari.
Subagyo, P.Ari. 1999. “Materi Kuliah Pragmatik 1” untuk Mahasiswa Semester  VI prodi PBSI, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.